Saturday, March 8, 2025

Hari Pertama Perkuliahan dan Awal Sebuah Perjuangan

Hari Pertama Perkuliahan dan Awal Sebuah Perjuangan

Novel Fiksi Berseries 


Pagi itu, Damar tiba di kampus pukul delapan tepat. Matahari belum terlalu terik, tetapi halaman kampus sudah penuh dengan mahasiswa yang berlalu-lalang menuju kelas masing-masing. Ini adalah hari pertama perkuliahan, dan Damar masih merasa asing dengan lingkungan ini.

Di dalam kelas, ia menemukan Abdan dan Zaidan sudah duduk di bangku tengah. "Akhirnya kau datang juga, Mar," sapa Abdan sambil tersenyum.

Damar mengangguk tanpa banyak bicara. Perhatiannya kemudian tertuju pada seorang mahasiswa berkacamata tebal yang duduk di pojok depan. Dari caranya merapikan buku dan mencatat sesuatu di kertasnya, dia jelas tipe kutu buku.

"Itu Arif," bisik Zaidan, menangkap rasa penasaran Damar. "Dia anaknya rajin dan pintar, katanya sudah membaca banyak buku hukum meski baru masuk kuliah."

Di sudut lain, ada seorang perempuan dengan tatapan tajam dan penuh percaya diri. Setiap dosen masuk, ia terlihat mencatat dan kadang bertanya dengan kritis. "Sabrina," lanjut Zaidan. "Dia dikenal vokal, katanya aktivis."

Tak jauh dari Sabrina, ada seorang mahasiswi dengan wajah yang menarik perhatian banyak orang. Parasnya cantik, rambutnya tergerai rapi, dan setiap orang yang berbicara dengannya tampak terpesona. "Amel," ucap Abdan kali ini. "Bintang kelas. Banyak yang sudah naksir padanya."

Damar hanya mengangguk. Ia tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti itu. Baginya, kuliah hanyalah kewajiban yang harus ia jalani karena keadaan.

Pemilihan Ketua Kelas

Mata kuliah pertama adalah Pengantar Ilmu Hukum, yang dibawakan oleh Prof. Wajdi. Sosok dosen senior ini sangat dihormati, caranya menjelaskan begitu sistematis dan menarik, membuat Damar yang awalnya tidak tertarik pada dunia hukum mulai sedikit memperhatikan.

Setelah kuliah selesai, kelas mengadakan pemilihan Komting (ketua kelas). Ada dua kandidat: Wildan, mahasiswa dengan gaya santai yang supel, dan Sabrina, dengan gaya bicara yang tegas dan meyakinkan.

Wildan memperkenalkan diri dengan gaya santai. "Saya akan membuat kelas ini lebih asyik dan tidak kaku," ucapnya, disambut tepuk tangan kecil.

Sabrina berbicara dengan nada lebih serius. "Saya ingin kelas ini menjadi komunitas akademik yang kuat, saling mendukung, dan tidak hanya sekadar kuliah lalu pulang."

Hasil pemungutan suara menunjukkan Sabrina menang dengan 19 suara, sedangkan Wildan 18 suara. Tiga orang tidak hadir yang mungkin bisa saja merubah segalanya.

Damar mengangkat bahu. Ia tidak begitu peduli siapa yang menang. Yang penting, kelas bisa berjalan lancar.

Suasana Tegang di Kantin dan Perebutan Papan Pengumuman

Setelah pemilihan, Abdan mengajak mereka makan siang di kantin yang terletak di samping gedung serbaguna. Saat mereka masuk, hampir semua meja sudah penuh dengan mahasiswa senior.

"Ada satu meja kosong di depan kasir," kata Zaidan. Mereka pun menuju ke sana.

Di meja sebelahnya, Sandi, ketua BEM, duduk bersama pacarnya Rania. Suasana seketika menjadi canggung. Damar bisa merasakan tatapan tajam dari arah mereka, mengingat kejadian ospek kemarin.

"Kelihatannya mereka belum melupakan insiden itu," bisik Zaidan.

Damar tetap cuek dan mulai makan. Namun, belum lama mereka duduk, ada keributan kecil di dekat papan pengumuman di depan kantin.

Beberapa mahasiswa tampak memasang brosur rekrutmen organisasi, baik organisasi internal seperti UKM dan Himpunan Mahasiswa, maupun organisasi eksternal yang berafiliasi dengan gerakan mahasiswa di luar kampus.

"Hei! Ini tempat Hima, nggak boleh sembarangan tempel di sini!" terdengar suara mahasiswa yang mengenakan jaket Himpunan Mahasiswa.

"Kita juga berhak memasang di sini, bro! Kampus ini bukan cuma milik kalian!" balas mahasiswa lain dari organisasi eksternal.

Perdebatan semakin memanas. Beberapa mahasiswa mulai berkerumun, ada yang sekadar menonton, ada juga yang berusaha melerai.

Damar yang awalnya tidak peduli akhirnya menoleh juga. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan.

Abdan mengangkat bahu. "Biasalah, soal perebutan ruang. Organisasi kampus selalu begini, saling sikut buat dapat tempat promosi."

Zaidan tertawa kecil. "Aku malah tertarik gabung di UKM Demokrasi. Pasti seru kalau bisa ikut diskusi dan aksi-aksi."

Damar hanya menghela napas. Ia masih tidak tertarik dengan organisasi kampus, apalagi setelah kejadian ospek kemarin.

Sembari makan, mereka terus merasakan tatapan sinis dari ketua BEM dan beberapa pengurus lainnya. Seakan kejadian ospek masih menyisakan dendam.

Sebelum mereka selesai makan, seorang pengurus BEM menghampiri meja mereka.

"Bro, pinjam mancis," katanya santai.

Damar merogoh saku dan menyerahkan mancisnya. Namun, sebelum pergi, pengurus BEM itu menepuk bahunya dan berkata dengan nada penuh sindiran, "Jangan sok jagoan di kampus, ya."

Damar hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Panggilan Aksi Demonstrasi

Saat hendak keluar dari kantin, suara dari pengeras suara menggema di seluruh kampus.

"Panggilan untuk seluruh mahasiswa! Besok akan ada aksi demonstrasi di depan gedung DPR terkait kebijakan pencabutan subsidi gas LPG 3 kg. Mari bersolidaritas untuk kepentingan rakyat!"

Abdan terlihat tertarik. "Kemarin di kelas kita membahas soal ini, kan? Harga LPG melonjak gila-gilaan."

Zaidan juga setuju. "Ini kesempatan untuk menyuarakan keresahan masyarakat."

Damar awalnya tidak terlalu peduli. Baginya, kebijakan pencabutan subsidi mungkin ada benarnya karena sering disalahgunakan oleh orang-orang kaya. Namun, karena Abdan dan Zaidan begitu antusias, ia akhirnya setuju untuk ikut.

Mereka lalu mendaftarkan diri di posko aksi dan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp peserta aksi.

Rapat Malam di Lapangan Pelopor

Setelah sampai di kos, ada pengumuman di grup.

"Rapat teknis aksi malam ini, lapangan Pelopor, wajib hadir bagi peserta."

Damar dan Abdan memutuskan untuk datang. Zaidan, meski tinggal di rumah pamannya, juga ikut bergabung.

Di lapangan Pelopor, seorang mahasiswa semester lima bernama Adit memimpin rapat. Ia dikenal sebagai aktivis vokal dan pernah mencalonkan diri menjadi ketua BEM, tetapi kalah dari Sandi.

Dengan suara yang lantang dan berwibawa, Adit menjelaskan tujuan aksi. "Pencabutan subsidi LPG ini bukan hanya soal harga, tapi soal hak rakyat kecil. Pemerintah gagal mengawasi distribusi, dan malah rakyat miskin yang dikorbankan!"

Damar mendengarkan dengan seksama. Pandangannya mulai berubah. Ia mulai memahami bahwa kebijakan pemerintah tidak selalu benar jika pelaksanaannya tidak berpihak pada rakyat.

Saat sesi pembagian tugas, Adit menunjuk beberapa orang untuk menjadi orator dalam aksi besok.

"Damar, kamu akan jadi salah satu orator besok!"

Damar terkejut. "Aku?"

"Ya, suaramu lantang. Aku yakin kamu bisa," kata Adit dengan yakin.

Abdan menepuk pundak Damar. "Kesempatan bagus, bro!"

Malam itu, Damar pulang dengan pikiran penuh. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan berdiri di depan massa, berorasi di hadapan DPR. Namun, besok, ia akan melakukannya.

Dan ia akan terus kepikiran apa yang harus dia orasikan besok hari


Bersambung......

No comments:

Post a Comment