Friday, March 7, 2025

Hari terakhir Ospek Menjadi Tragedi

Hari Terakhir Ospek Menjadi Tragedi

Novel Fiksi Berseries

Ruang Intimidasi

Damar baru saja turun dari podium ketika dua panitia tentor tiba-tiba mencengkeram lengannya dengan kuat.

"Ikut kami," bisik salah satu dari mereka dengan nada dingin.

Damar menoleh, tetapi sebelum sempat protes, mereka sudah menyeretnya ke luar lapangan. Suasana di luar masih riuh oleh suara mahasiswa baru yang mengikuti sesi berikutnya, tetapi tak ada yang benar-benar memperhatikan ketika Damar digiring melewati lorong belakang gedung menuju sebuah ruangan yang tidak dikenal.

Sebuah kain hitam tiba-tiba ditutupkan ke wajahnya.

"H-hey! Apa-apaan ini?!"

"Tutup mulut!" bentak salah satu senior.

Damar mencoba meronta, tapi genggaman mereka terlalu kuat. Dia bisa merasakan langkah kakinya semakin jauh dari keramaian. Setelah beberapa saat berjalan, ia didorong masuk ke sebuah ruangan. Suara pintu ditutup dan dikunci dari luar.

Saat kain hitam di wajahnya ditarik, Damar harus menyipitkan mata karena cahaya yang redup. Ia berada di dalam ruangan sempit, di sekelilingnya ada lima senior yang menatapnya dengan ekspresi dingin.

Di tengah ruangan, duduklah Ketua BEM dengan kaki disilangkan di atas meja.

"Berani juga kau ya," katanya dengan suara rendah, tetapi mengandung ancaman yang jelas.

Damar diam. Ia tahu ini adalah permainan psikologi.

Salah satu senior berambut cepak menghantam meja dengan tangan.

"Jawab kalau ditanya, anak baru!" bentaknya.

Damar tetap diam.

Tiba-tiba, seseorang menarik kerah bajunya dan mendorongnya ke belakang hingga hampir terjatuh.

"Kau pikir kau hebat?!" teriak senior lainnya. "Berani-beraninya mengganggu Rania! Berani-beraninya melawan kami?!"

Damar menarik napas dalam. Ia tak takut, tapi ia juga tak bodoh. Perlawanan fisik hanya akan membuat segalanya lebih buruk.

Ketua BEM berdiri dan berjalan mendekatinya, menatap langsung ke matanya.

"Kau ini mahasiswa baru. Kau bukan siapa-siapa di sini. Kami yang mengatur kampus ini. Kau bisa jadi kawan, atau jadi musuh."

Ia menepuk pundak Damar dengan keras.

"Kami sudah putuskan, kau harus tanda tangan surat pernyataan. Kalau tidak..."

Salah satu senior mengeluarkan ponsel dan menyalakan kamera.

"Kami bisa pastikan kau punya awal yang buruk di kampus ini," katanya dengan senyum miring.

Damar menatap mereka satu per satu. Dalam hatinya, ia muak. Ini bukan sekadar Ospek, ini permainan kekuasaan yang busuk.

Sebuah map dilempar ke atas meja.

"Tanda tangan," perintah Ketua BEM.

Damar menatap kertas itu.

"Saya, Damar, mahasiswa baru, dengan ini menyatakan bahwa saya tidak akan mengulangi tindakan yang mengganggu jalannya Ospek dan bersedia mengikuti seluruh rangkaian acara dengan tertib."

Ia mengepalkan tangannya.

"Kalau aku nggak tanda tangan?" tantangnya.

Salah satu senior menendang kursi di sampingnya hingga jatuh dengan suara keras.

"Kami yang menentukan hidupmu di kampus ini! Mau dibuat susah?! HAH?!"

Damar terdiam. Ia tahu, ia sedang berada di sarang serigala.

Dengan enggan, ia meraih pulpen.

Garis tanda tangan itu terasa seperti rantai yang membelenggunya. Tapi ia tahu, terkadang mundur satu langkah adalah cara terbaik untuk memenangkan perang yang lebih besar.

Ia membubuhkan tanda tangannya.

"Bagus," kata Ketua BEM sambil tersenyum puas.

Seorang senior membuka pintu. "Kau boleh pergi."

Tanpa menoleh, Damar melangkah keluar.

Ia tidak akan lupa kejadian ini.

Dan ia tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja.

Damar: Api dalam Sekam

(Lanjutan Hari Ketiga Ospek – Gaya Madilog dengan Sentuhan Naratif yang Lebih Mendalam)



Percakapan di Telepon

Setiba di rumah, Damar melempar tasnya ke lantai dan merebahkan diri di kasur.

Pikirannya masih berputar tentang kejadian tadi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama Abdan muncul di layar.

"Bro, lo baik-baik aja?" suara Abdan terdengar khawatir.

"Aman," jawab Damar singkat.

"Gila, lo disekap di Sekretariat BEM selama beberapa jam. Gue sama Zidan tadi udah kepikiran buat nekat ke sana."

Damar tersenyum tipis. "Nggak perlu. Gue baik-baik aja. Besok ketemu di kampus aja."

"Oke, besok kita bareng."

Damar meletakkan ponselnya dan menatap langit-langit kamar.

Ia tahu ini belum selesai.


Merangkak Menuju Kekonyolan

Pagi di hari ketiga Ospek terasa lebih kelam. Damar, Abdan, dan Zidan berdiri di gerbang kampus, menatap barisan mahasiswa baru yang sudah mulai merangkak di aspal panas.

"Ini serius?" gumam Zidan tak percaya.

"Kita diperlakukan kayak anak TK," tambah Abdan, mendecak kesal.

Dengan pakaian olahraga, topi kerucut dari karton, dan tas dari goni plastik, mereka semua terlihat seperti peserta karnaval yang dipaksa berpartisipasi.

Teriakan senior dari megafon mengiringi perjalanan mereka ke Gedung Serbaguna. "Cepat! Jangan malas! Kampus ini bukan tempat buat orang lembek!"

Damar menahan geram, tapi tetap mengikuti arus. Ia tahu, melawan sekarang hanya akan memperburuk keadaan.



Teater Kekuasaan

Begitu sampai di dalam gedung, suasana tidak lebih baik. Ketua BEM berdiri di atas panggung bersama anggotanya, memasang wajah garang.

"Selamat datang di hari terakhir Ospek!" suaranya menggema. "Hari ini kalian akan mengenal lebih dalam tentang kampus ini, termasuk sistem akademik dan organisasi kemahasiswaan!"

Seorang dosen naik ke panggung, menjelaskan tentang pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) dan mekanisme ujian. Ini adalah bagian yang paling berguna sepanjang Ospek, meski disampaikan dalam suasana yang tetap dipenuhi tekanan dari senior.

Damar memperhatikan, tapi pikirannya masih dipenuhi rasa muak terhadap sistem yang menindas mahasiswa baru.

Setelah sesi perkenalan sistem perkuliahan, mereka digiring kembali ke lapangan.



Bisnis Berkedok Cendera Mata

Mahasiswa baru dikelompokkan berdasarkan fakultas, lalu para tentor senior maju dengan gantungan kunci dan stiker di tangan.

"Oke, teman-teman! Ini cendera mata eksklusif dari Ospek! Kalian wajib beli. Harganya 50 ribu per paket!"

Damar tersentak. Ia melihat barang-barang itu. Gantungan kunci plastik murahan. Stiker biasa.

Ia menahan tawa sinis.

"Mereka ini mahasiswa atau pedagang pasar?" pikirnya.

Di sudut belakang, seorang mahasiswa mengangkat tangan.

"Kenapa harganya mahal? Ini cuma barang murah!"

Zidan langsung menimpali, "Kami nggak mau beli kalau harganya segini."

Sorakan setuju terdengar dari beberapa mahasiswa lain.

Ketua BEM menatap tajam. "Kalian nggak wajib beli, tapi kalau nggak beli, jangan harap ada kelonggaran dari kami di kampus nanti."

Suasana semakin panas. Beberapa mahasiswa tetap membangkang, dan akhirnya, setelah negosiasi panjang, harga diturunkan menjadi 20 ribu.

"Itu masih kemahalan," bisik Abdan pada Damar. "Di pasar, lima ribu dapet tiga."

Damar mengangguk. Ini bukan soal uang. Ini soal prinsip.

Mereka akhirnya menyerahkan uang dengan setengah hati.



Kekecewaan yang Membara

Ospek akhirnya ditutup dengan tepuk tangan setengah hati dari mahasiswa baru.

Damar, Abdan, dan Zidan berjalan keluar kampus dengan perasaan campur aduk.

"Gila ya, mereka teriak-teriak soal idealisme, tapi ujung-ujungnya kayak gini," kata Zidan sambil menggeleng.

"Kayak pejabat korup," tambah Damar pelan.

Abdan menghela napas. "Gue jadi makin males ikut organisasi kampus. Mereka sama aja kayak sistem yang mereka kritik."

Damar tersenyum miring. "Mereka baru dikasih kuasa secuil, udah mulai menindas. Gimana kalau mereka beneran jadi pejabat nanti?"

Mereka bertiga terdiam.

Satu hal yang jelas bagi Damar: kampus ini adalah cerminan dunia nyata.

Dan jika ingin bertahan, ia harus lebih cerdas dari mereka semua.




(Bersambung…)

No comments:

Post a Comment