Monday, March 3, 2025

Kematian Idealisme di Meja Perundingan


Ilustrasi Gambar


Damar menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin. Di hadapannya, di sebuah rumah makan sederhana, duduk beberapa teman lamanya—para aktivis yang dulu ia kagumi. Mereka bukan mahasiswa, bukan pemuda labil yang baru belajar berteriak di jalan. Mereka adalah orang-orang yang dulu bersumpah akan menjadi garda terakhir bagi rakyat, yang pernah melawan kebijakan zalim tanpa gentar. Namun kini, Damar melihat sesuatu yang berbeda di mata mereka.

“Kau terlalu keras, Mar,” ujar Arif, seorang mantan aktivis yang kini bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) terbesar di kota ini. “Zaman berubah. Kalau kita mau tetap relevan, kita harus tahu cara bermain.”

“Bermain?” Damar mengangkat alis. “Maksudmu tunduk pada sistem yang dulu kita lawan?”

“Bukan tunduk. Beradaptasi.” Arif tersenyum tipis. “LSM butuh dana. Kalau kita terus bertindak seperti dulu, siapa yang akan membiayai perjuangan kita? Pemerintah? Jangan mimpi. Donatur dari luar negeri? Mereka punya kepentingan sendiri. Kalau perusahaan menawarkan dana untuk proyek sosial, kenapa harus kita tolak?”

Damar menggelengkan kepala. Ia sudah mendengar argumen ini berkali-kali. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi suara kritis kini berubah menjadi perpanjangan tangan korporasi dan pemerintah. Dulu, LSM berjuang melawan perampasan tanah oleh investor besar. Sekarang, mereka justru duduk di meja perundingan, menandatangani MoU yang secara halus melegitimasi proyek-proyek yang merugikan rakyat.

“Jadi, kau ingin mengatakan bahwa menerima dana dari perusahaan tambang yang merusak hutan itu sah-sah saja?” Damar bertanya, nadanya tajam.

Arif tidak langsung menjawab. Seorang rekannya, Rudi, yang juga mantan aktivis, justru tertawa kecil.

“Damar, kau masih berpikir hitam putih. Lihatlah kenyataan. Perusahaan itu punya uang, mereka bisa mengontrol segalanya. Jika kita tidak bekerja sama, kita akan ditinggalkan. LSM kita tidak akan punya daya.”

Damar merasakan amarah mendidih di dadanya. Daya? Apa yang mereka maksud dengan daya? Kekuasaan untuk bernegosiasi? Untuk membuat proyek yang hanya menjadi simbol kepedulian tanpa benar-benar mengubah keadaan?

Ia teringat seorang petani tua yang pernah ditemuinya di desa beberapa bulan lalu. Petani itu kehilangan lahannya karena proyek “pembangunan hijau” yang katanya untuk keberlanjutan lingkungan. Ironisnya, proyek itu didanai oleh perusahaan yang sama yang telah merusak ekosistem selama puluhan tahun. Dan lebih ironis lagi, LSM yang ikut mendukung proyek itu adalah LSM tempat Arif bekerja sekarang.

Damar mengepalkan tangannya di atas meja. “Kalian tidak lagi berjuang untuk rakyat. Kalian berjuang untuk bertahan di sistem ini, dan itu jauh lebih buruk.”

Arif menghela napas, tatapannya penuh belas kasihan. “Dan kau akan ke mana, Mar? Berteriak sendirian di jalanan? Dunia ini tidak akan berubah hanya karena satu orang masih percaya pada idealisme.”

Damar berdiri, mengambil jaketnya. Ia tidak butuh belas kasihan dari mereka yang telah menyerah.

Sebelum melangkah pergi, ia menatap mereka satu per satu. “Jika semua orang berpikir seperti kalian, maka memang benar dunia ini tak akan berubah.”

Malam itu, ia berjalan pulang dengan pikiran berkecamuk. Ia sadar bahwa materialisme telah menjalar ke hampir semua sendi kehidupan. Lembaga yang dulu ia percaya sebagai benteng idealisme kini hanya sibuk menjaga kepentingan sejengkal perut.

Tapi meskipun semua orang telah menyerah, ia tidak akan berhenti. Ia tidak tahu bagaimana, tapi satu hal yang pasti: ia harus melawan.


Novel Fiksi: Penulis Misterius

No comments:

Post a Comment