Monday, March 3, 2025

Pergeseran Kutub Kebenaran dari Kebijaksanaan ke Materialistis

Malam itu, di sebuah kamar kos sederhana yang penuh dengan buku-buku filsafat dan politik, Damar menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di hadapannya, sebuah artikel berita online terpampang, berisi laporan investigasi tentang dugaan korupsi di sebuah yayasan sosial yang seharusnya membantu anak-anak miskin. Alih-alih menjadi lembaga yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, yayasan itu hanya menjadi alat pencucian uang bagi segelintir orang yang mengatasnamakan kepedulian.

Damar menghela napas berat. Seakan semua yang ia lihat di sekelilingnya menunjukkan pola yang sama—lembaga pemerintah yang lebih sibuk memperkaya pejabatnya, perusahaan yang hanya peduli pada keuntungan tanpa peduli lingkungan, hingga kampus tempatnya belajar yang lebih tertarik membangun citra daripada benar-benar mencerdaskan mahasiswa.

"Apa semua ini hanya tentang uang?" gumamnya sendiri.

Di bangku kuliah, ia sering membaca pemikiran para filsuf besar—Plato, Aristoteles, hingga Tan Malaka dengan gagasan-gagasannya tentang materialisme dialektika. Mereka semua berbicara tentang kebijaksanaan, tentang bagaimana manusia harus mencari kebenaran dan bukan hanya keuntungan. Namun di dunia nyata, yang ia lihat justru sebaliknya: uang adalah hukum tertinggi, dan kebijaksanaan dianggap sebagai utopia yang tidak relevan.

Keresahannya semakin memuncak setelah diskusi siang tadi di kantin kampus bersama teman-temannya.

"Lu terlalu idealis, Mar," kata Andi, temannya yang sedang mengambil magang di salah satu perusahaan besar. "Realitanya, kalau mau sukses, lu harus pinter cari uang. Kalo lu cuma mikirin kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur, lu bakal dilindas sama orang-orang yang lebih pragmatis."

Damar hanya diam saat itu, tetapi hatinya bergejolak. Apakah memang tak ada lagi tempat bagi kebijaksanaan dalam dunia ini? Jika setiap orang hanya memikirkan uang dan kepentingan pribadi, bagaimana nasib bangsa ini ke depan?

Ia teringat percakapannya dengan seorang dosen senior beberapa minggu lalu, seorang akademisi tua yang masih teguh memegang idealismenya.

"Kita sedang bergerak ke arah yang berbahaya, Nak," kata dosennya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ketika segala sesuatu diukur dari keuntungan materi, kita kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: nilai kemanusiaan. Negara ini tidak akan runtuh karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya kebijaksanaan dalam mengelolanya."

Damar mengusap wajahnya, merasa muak dengan kenyataan yang ada. Namun, di balik kemarahannya, ada tekad yang mulai tumbuh. Ia tidak ingin hanya menjadi saksi dari kehancuran nilai-nilai itu—ia ingin berbuat sesuatu.

Tapi pertanyaannya, di zaman seperti ini, apakah masih ada ruang bagi seseorang yang memperjuangkan kebijaksanaan? Ataukah ia akan dihancurkan oleh arus pragmatisme yang semakin menggila?

Damar tahu satu hal: ia harus mencari jawabannya sendiri.


Novel Fiksi: Penulis Misterius

No comments:

Post a Comment