Hari Pertama Masuk Kampus
(Sebuah Novel Fiksi Berseries)
Api yang Padam Sebelum Menyala
Damar tidak pernah bercita-cita menjadi mahasiswa. Bagi anak laki-laki seusianya, kehidupan yang ideal adalah mengenakan seragam loreng, menggenggam senjata, dan membela tanah air di garis depan. Namun, Tuhan dan nasib punya rencana lain. Tubuhnya yang kurang memenuhi syarat, keuangan keluarga yang seret, serta restu orang tua yang tak kunjung datang memaksa impian itu hanya menjadi angan-angan yang perlahan mengendap di dasar hatinya.
Sebagai gantinya, ia kini berdiri di gerbang sebuah perguruan tinggi, bukan karena keinginannya, melainkan karena paksaan sang paman, seorang dosen di kampus ini. Paman menganggap pendidikan hukum akan memberinya masa depan yang lebih cerah dibanding angan-angan kosong menjadi tentara.
Hari ini adalah hari pertama orientasi mahasiswa baru—yang lebih dikenal sebagai Ospek. Sejak awal, Damar sudah malas. Bukan hanya karena ia dipaksa masuk kuliah, tetapi juga karena Ospek ini tampak seperti ajang pamer kuasa para senior yang lebih dulu menginjakkan kaki di kampus.
"Apa faedahnya diteriaki senior? Apa hubungannya dengan ilmu hukum?" batinnya geram.
Namun, ia tetap datang. Setidaknya, ia harus menghormati keputusan yang sudah dibuat—atau lebih tepatnya, dipaksakan kepadanya.
Arena Gladiator di Kampus
Damar telat.
Ia memang sudah berniat bangun pagi, tapi semangatnya yang hanya setipis benang membuatnya berlama-lama di kasur. Akibatnya, begitu tiba di kampus, ia langsung disambut dengan teriakan dari seorang senior yang bertindak sebagai tentor.
"Kamu mahasiswa baru, ya?! Kenapa telat?! Mana seragammu?!"
Damar menarik napas panjang. Ia tak suka berbicara banyak, apalagi dengan orang yang menurutnya tak perlu ditanggapi serius.
"Maaf, Kak," jawabnya singkat.
Tentu saja permintaan maafnya tak diterima begitu saja. Sebagai hukuman, ia disuruh mencari sepuluh tanda tangan senior. Daftar nama sudah ditentukan, dan salah satunya adalah Rania—sosok yang katanya menjadi bintang kampus.
Damar tak peduli dengan gelar-gelar semacam itu. Baginya, semua ini hanya ritual sia-sia. Namun, untuk menghindari masalah lebih besar, ia tetap mencoba menjalankan tugasnya.
Dibantu dua teman barunya, Abdan dan Zidan, Damar mulai berburu tanda tangan. Satu per satu senior memberikan tanda tangan mereka, meski beberapa memberinya dengan tatapan sinis. Namun, saat sampai pada nama Rania, segalanya berubah.
Rania dan Amarah yang Membara
Rania adalah perempuan yang, menurut standar umum, sangat menarik. Wajahnya anggun, pembawaannya tenang, dan senyumnya menawan. Namun, bagi Damar, ia hanyalah nama terakhir dalam daftar tanda tangan yang harus dikumpulkan.
Saat bertemu, Damar langsung mengutarakan maksudnya.
"Kak Rania, saya mahasiswa baru. Bisa minta tanda tangannya?"
Rania mengerutkan dahi, lalu menatapnya dengan tatapan meremehkan.
"Maaf, aku nggak ngasih tanda tangan untuk yang kayak kamu."
Damar terdiam sejenak. Ia tahu senior di kampus bisa saja angkuh, tapi ia tak menyangka akan ditolak sekeras ini.
"Kenapa, Kak?" tanyanya, masih berusaha sopan.
"Aku nggak mau. Itu cukup, kan?" Rania berbalik pergi.
Namun, Damar tahu ia tak bisa pulang tanpa tanda tangan itu. Ia mencoba lagi, sedikit lebih memaksa.
"Kak, ini tugas dari tentor. Kalau saya nggak dapat tanda tangan Kakak, saya bakal kena hukuman lagi."
Rania mulai risih. "Itu urusanmu, bukan urusanku."
Namun, Damar tak menyerah. Ia terus meminta, hingga akhirnya Rania merasa terganggu. Dengan wajah kesal, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Kamu ganggu aku! Jangan paksa aku, atau aku laporin kamu ke ketua BEM!"
Dan ia benar-benar melakukannya.
Tak lama, Damar dipanggil ke ruangan BEM.
Kemarahan Seorang Damar
Ketua BEM, seorang mahasiswa tingkat atas dengan postur tegap dan wajah penuh wibawa, duduk di balik meja dengan tangan terlipat di depan dada.
"Jadi kamu yang ganggu Rania?" tanyanya dengan nada dingin.
Damar menghela napas. "Saya nggak ganggu, Kak. Saya cuma menjalankan tugas Ospek."
"Tapi Rania nggak mau kasih tanda tangan, dan kamu tetap memaksa."
Damar menatap lurus ke arah Ketua BEM. "Saya disuruh senior mencari tanda tangan. Saya hanya menjalankan perintah mereka. Kenapa sekarang saya yang disalahkan?"
Ketua BEM tersenyum sinis. "Jangan berlagak pintar, adik kecil. Kalau ada yang menolak, ya sudah. Jangan maksa. Itu namanya nggak tahu diri."
Damar mengepalkan tangan di bawah meja. Ia muak dengan semua ini.
"Kalau begitu, kenapa senior saya bisa maksa saya mencari tanda tangan? Bukankah itu juga nggak tahu diri?"
Ruangan mendadak sunyi. Ketua BEM menatapnya tajam, tetapi Damar tidak gentar.
"Apa kita sebagai mahasiswa baru cuma boleh menerima perintah tanpa boleh membantah? Apa ini kampus atau barak tentara?"
Ketua BEM mendengus. "Sudah cukup. Aku nggak mau lihat kamu ganggu Rania lagi. Kalau kamu tetap maksa, aku pastikan kamu susah di kampus ini."
Damar berdiri. Ia sudah cukup.
Tanpa menunggu izin, ia keluar dari ruangan itu dengan kepala mendidih. Ospek ini, kampus ini, dan segala peraturannya sudah membuatnya muak.
Hari pertama berakhir dengan kemarahan yang ia pendam dalam hati.
Dan ia bersumpah, ini tidak akan berakhir di sini.
(Bersambung.....)
No comments:
Post a Comment