Hari Kedua di Kampus
Novel Fiksi Berseries
Matahari belum tinggi saat Damar kembali menginjakkan kaki di halaman kampus. Rasa enggan masih menggelayut di dadanya, tapi ia tak punya pilihan. Ospek masih berlanjut.
Setelah insiden kemarin, ia sudah menyiapkan diri untuk berbagai kemungkinan. Bisa saja senior-senior itu makin mencari masalah dengannya. Bisa juga Ketua BEM mencoba menunjukkan kuasanya lagi. Namun, satu hal yang pasti—Damar tidak akan tunduk begitu saja.
Abdan dan Zidan sudah menunggunya di depan gedung aula.
"Bro, kemarin setelah kejadian itu, kamu aman?" tanya Abdan dengan nada khawatir.
Damar mengangkat bahu. "Aman, cuma diperingatkan aja. Tapi gue nggak suka caranya."
Zidan mengangguk. "Ketua BEM itu sok banget. Emangnya siapa dia? Cuma karena pacarnya bintang kampus, kita harus tunduk?"
"Justru itu," gumam Damar. "Gue nggak habis pikir, kenapa kita mahasiswa baru harus ngikutin aturan nggak jelas begini?"
Abdan tertawa kecil. "Selamat datang di dunia kampus, bro."
Namun, percakapan mereka terpotong oleh suara megafon.
"Mahasiswa baru, kumpul di lapangan! Cepat!"
Senior-senior sudah berdiri tegak di depan, wajah mereka dingin dan tegas. Tidak ada tanda-tanda keakraban atau niat untuk membimbing. Yang ada hanya dominasi dan kepatuhan buta.
---
Pidato dari Sang Rektor
Matahari menggantung malu-malu di langit pagi, mengirimkan bias cahaya hangat yang jatuh di halaman kampus. Ribuan mahasiswa baru duduk berjejer di lapangan utama, mengenakan kaus seragam Ospek yang sudah mulai lecek. Damar duduk di barisan tengah bersama Abdan dan Zidan, masih diliputi perasaan malas dan kesal akibat insiden kemarin.
Suara mikrofon yang berdengung membungkam kericuhan kecil di antara mahasiswa. Seorang pria paruh baya dengan jas hitam elegan melangkah ke podium. Sorot matanya tajam, penuh wibawa. Ia adalah Prof. Zamidan Nasir, sang rektor.
Damar mengangkat kepala, sedikit tertarik. Ia tak banyak tahu tentang pria ini, hanya mendengar bisik-bisik bahwa beliau lulusan luar negeri dengan segudang prestasi.
Rektor membuka pidatonya dengan senyum tipis.
"Mahasiswa sekalian," suaranya tenang, namun menggema. "Kalian telah melangkah ke dunia yang berbeda. Kampus bukan sekadar tempat belajar, tetapi laboratorium kehidupan, tempat gagasan diuji, dan pemikiran dikembangkan."
Mahasiswa mulai hening, terhanyut dalam wibawa sang rektor.
"Kalian lahir di era yang unik. Dunia berubah dengan cepat. Kita tidak lagi berbicara tentang persaingan fisik, tetapi persaingan gagasan dan inovasi. Dan saat ini, perubahan terbesar datang dari Artificial Intelligence (AI).”
Beberapa mahasiswa saling bertukar pandang.
"AI bukan sekadar robot atau mesin. AI adalah bagian dari kehidupan kita. Ia ada dalam ponsel yang kalian gunakan, dalam algoritma yang menentukan berita apa yang kalian lihat, bahkan dalam cara kalian belajar di masa depan."
Damar mulai memperhatikan.
"Jika mahasiswa tidak melek AI, kalian akan tertinggal. Kalian tidak harus menjadi ilmuwan komputer, tetapi kalian harus memahami bagaimana dunia ini bergerak. Sebab siapa yang menguasai teknologi, dialah yang mengendalikan masa depan."
Sorakan kecil terdengar dari beberapa kelompok mahasiswa.
"Jadilah pemikir, bukan sekadar pengikut. Tantang status quo, tapi dengan ilmu, bukan sekadar amarah. Dan yang paling penting, jangan pernah berhenti belajar."
Damar terdiam.
Ia mungkin belum tahu banyak soal AI, tapi ada sesuatu dalam pidato ini yang mengusiknya. Seperti sebuah tantangan tersembunyi yang dilemparkan kepadanya.
Sorakan tepuk tangan pecah ketika Prof. Zamidan mengakhiri pidatonya.
Dan Damar, untuk pertama kalinya, merasa sedikit tertarik pada apa yang ditawarkan kampus ini.
---
Mencari Tempat di Kampus
Setelah sesi orasi ilmiah, suasana kampus berubah menjadi lebih santai. Tenda-tenda berdiri di sepanjang koridor, penuh dengan spanduk warna-warni bertuliskan nama berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
"Kita lihat-lihat, yuk!" ajak Abdan penuh semangat.
Damar mengangguk lesu. Ia tak terlalu tertarik, tetapi tak ada salahnya mengikuti arus.
UKM Pecinta Alam menarik perhatian pertama. Di depan tenda, ada panjat tebing mini dan foto-foto ekspedisi ke gunung-gunung tinggi. Mata Abdan berbinar.
"Gila, ini keren banget!" katanya. "Gue bakal daftar di sini!"
Mereka lanjut ke UKM Demokrasi, tempat Zidan tampak tertarik. Di sana, ada mahasiswa dengan kemeja kasual sedang berbicara tentang diskusi kebijakan, advokasi mahasiswa, dan debat publik.
"Ini tempatnya gue banget," gumam Zidan sambil mengisi formulir.
Damar hanya berdiri di tengah hiruk-pikuk. Ada UKM Kesenian, dengan gitaris memainkan lagu-lagu indie. UKM Media, yang sibuk dengan kamera dan laptop editing. UKM Keagamaan, dengan kelompok diskusi filsafat Islam.
Ada yang menarik di tiap sudut, tetapi Damar tak merasa cocok di mana pun.
Ia masih kesal. Kesal dengan Ospek. Kesal dengan sistem kampus. Kesal dengan Rania dan Ketua BEM.
Jadi, ia hanya diam dan menunggu sesi berikutnya dimulai.
------
Orasi dan Harga Diri
Langit mulai beranjak siang ketika para mahasiswa dikumpulkan kembali di lapangan.
"Baik, hari ini kita akan latihan orasi!" seru seorang tentor.
Damar mendesah. Setelah pidato inspiratif dari rektor dan keriuhan UKM, kini mereka kembali ke sesi yang terasa lebih seperti ajang unjuk kekuasaan.
Beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik. Tidak semua orang nyaman berbicara di depan umum.
"Setiap kelompok akan memilih satu perwakilan untuk berorasi di podium! Temanya: Peran Mahasiswa dalam Perubahan Sosial!"
Damar menghela napas. Ini benar-benar bukan gayanya.
Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Zidan menepuk bahunya.
"Gue rasa lo yang cocok maju, Mar."
Damar menatapnya tajam. "Kenapa gue?"
"Karena lo nggak takut sama senior!" tambah Abdan. "Mereka harus dengar suara orang yang nggak tunduk sama aturan konyol mereka."
Damar terdiam.
Akhirnya, dengan langkah mantap, ia naik ke podium.
Seluruh mata tertuju padanya. Ketua BEM ada di antara penonton, menyilangkan tangan dengan ekspresi meremehkan. Rania juga ada di sana, menatap dengan wajah datar.
Damar menarik napas.
"Kita semua ada di sini untuk belajar. Tapi apa yang kita pelajari dari Ospek ini? Bahwa kita harus tunduk tanpa alasan? Bahwa yang lebih tua selalu benar? Bahwa mahasiswa baru harus menerima perlakuan semena-mena?"
Beberapa senior mulai berbisik-bisik, tapi Damar melanjutkan.
"Kampus ini harusnya tempat berpikir, bukan tempat tunduk! Kalau kita diam, kita membiarkan budaya ini terus berlanjut. Kalau kita takut bicara, kita akan selalu jadi korban!"
Sorakan mulai terdengar dari mahasiswa baru. Beberapa senior mulai terlihat tidak nyaman.
Ketua BEM maju selangkah, wajahnya merah padam. "Cukup!" teriaknya.
Damar menatapnya tajam.
"Apa yang cukup, Kak? Kebenaran?"
Hening.
Ospek hari kedua baru saja berubah menjadi medan pertempuran harga diri.
Dan Damar tidak berniat mundur.
Bersambung.......
No comments:
Post a Comment