Wednesday, September 18, 2019

Makalah Ekonomi Islam UIN SUNAN KALIJAGA

Ekonomi Keuangan Islam 
Islam muncul sebagai sumber kekuatan yang baru pada abad ke-7 Masehi, menyusul runtuhnya kekaisaran Romawi. Kemunculan ini ditandai dengan berkembangnya peradaban baru yang sangat mengagumkan. Kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi serta kehidupan sosial lainnya termasuk ekonomi berkembang dengan sangat mengagumkan.

Fakta sejarah itu sesungguhnya menunjukkan bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang sangat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi dan politik maupun kehidupan yang bersifat spiritual. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt yang artinya : “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (Q.S. An-Nahl (16):89).

Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam menjadi agamamu.” (Q.S. Al Maidah (5): 3)

Firman Allah SWT diatas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan baik yang bersifat materil maupun non materil. Oleh karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, Islam sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan untuk manusia dalam menjankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam Al Qur’an dan Hadist Nabi.

Lahirnya sistem ekonomi Islam didasari oleh telaah para ahli ekonomi, para penentu kebijakan dan pemerintah atas sistem ekonomi yang telah berjalan sejak dahulu. Sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi komunis atau sosialis dianggap tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan, dan justru melahirkan kemiskinan dan keterpurukan bagi sebagian besar masyarakat, serta sering krisis ekonomi secara besar besaran.[1]

Dalam sistem konvensional, keserakahan manusia menjadi slogan yang populer di kalangan individu maupun sebagian perusahaan. Sistem keuangan berbasis bunga (Interest-based Financial System) dan penciptaan uang dari kekosongan (Creating money from nothing), semakin menguatkan ekploitasi sumber daya dan memperluas perbedaan serta menciptakan kesenjangan sosial antara yang punya dan tidak punya, yang miskin dan yang kaya.[2]

Ekonomi islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan islam itu sendiri. Islam harusnya dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya.[3]

A.      Ekonomi dan Agama
Sistem ekonomi yang saat ini bersifat sekuler, terjadi dikotomi antara antara agama dan kegiatan duniawi sejak terjadinya dark age di Eropa. Suatu aliran pemikiran muncul bahwa harus ada pembatasan antara aktivitas agama dan aktivitas. Namun hal tersebut tidak berlaku pada ajaran Islam. Terbukti saat terjadi dark age di Eropa, Islam justru mengalami masa kejayaan.[1]Meski begitu, banyak sarjana atau pelajar yang menyalahkan kemiskinan seorang Muslim itu disebabkan karena kepercayaan mereka akan ajaran Islam. Namun Marcus Noland, seorang Ekonom terkemuka mengatakan bahwa asumsi tersebut salah. Dia berpendapat “Tidak ada ajaran turun-temurun dari agama Islam yang dapat menyebabkan seorang Muslim menjadi miskin”. Jadi, agama Islam dapat mempopulerkan gagasan pertumbuhan.Jika ingin mendiskusikan peran agama dalam Ilmu Ekonomi, manusia harus mengetahui bahwa ekonomi adalah ilmu pengetahuan dari suatu sistem ekonomi. Dan sebuah sistem ekonomi pastilah membahas mengenai sebuah pemikiran yang berdasarkan beberapa ideologi. Sementara Ilmu Ekonomi juga harus disadari sebagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan penciptaan kekayaan. Jadi Istilah ekonomi Islam dapat dimaknai menjadi tiga kemungkinan, yakni teori, sistem dan kegiatan ekonomi umat Islam.[2]Maka dari itu, sebuah sistem terdiri dari tiga unsur utama:a.    Kepemilikan tanah, uang dan kekayaan
b.    Pembagian hak milik
c.    Distribusi kekayaan antar manusia
Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem yang lain. Perbedaannya terletak pada bagaimana manusia membagi hak milik dan distribusi penghasilan antara kepada berbagai kalangan masyarakat, dengan menetapkan peran Negara untuk memastikan bahwa ketidakadilan tidak dilakukan oleh masyarakat secara individu, banyak orang maupun kelompok.[3]Faktanya, ekonomi Islam dapat mewujudkan keseimbangan antara aspek sosial dan aspek ekonomi dalam kalangan manusia, kepentingan pribadi dan sosial, dan antara individu, keluarga/rumah tangga, kelompok maupun negara. Hal ini secara efektif dapat menanggulangi masalah yang terjadi seperti distribusi pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan, yang mana hal ini tidak dapat diselesaikan oleh sistem kapitalis.Dalam dunia kontemporer, Islam memiliki bukti makro tentang adilnya distibusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Teori “The Tricle-Down” (The Tricle Down Theory) yang digunakan di Malaysia pada tahun 1957-1970 telah mengalami kegagalan yang sangat buruk dan berujung pada tragedi 13 Mei 1969, yaitu kerusuhan antar bangsa dalam negara. Kemudian pemerintahan Malaysia mengadopsi kebijakan baru yang dikaitkan dengan nilai nilai Islam, seperti keadilan dan kejujuran, yang memberikan kontribusi besar dan menakjubkan terhadap pencapaian negara pada tiga dekade terakhir. Kebijakan ini berhasil menghapuskan kemiskinan, menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan keadilan distribusi pendapatan.Ahli Ekonomi Islam mulai menelaah bahwasannya masalah ekonomi berasal dari:1.    Tidak adanya pengawasan dan pengontrolan dalam praktek penciptaan uang
2.    Tidak adanya batas etika dalam praktik pada pasar
3.    Adanya tekanan pada pertumbuhan dan keuntungan tanpa mempedulikan aspek distribusi pendapatan
4.    Tidak adanya peran positif dari Negara dan penentu kebijakan dalam membatasi keserakahan masyarakat dan praktik perolehan keuntungan yang tidak terkendali[4]Ditinjau dari masalah yang muncul di atas, Ekonomi Islam memberi solusi dengan diadakannya pengawasan terhadap faktor-faktor diatas. Ekonomi Islam fokus pada keadilan dan kejujuran pada semua dan peduli pada pemenuhan hak – hak orang lain, dengan tetap dilandasi oleh etika dan moral. Prinsip – prinsip tersebut yang bisa diadopsi untuk memberi keringanan pada masyarakat.Disamping itu, Islam mengatur banyak hal terkait dengan perilaku masyarakat. Dalam mekanisme pasar, hukum Islam menawarkan kontrak – kontrak lain yang disertai dengan peraturan yang rinci. Selain itu, Islam juga memperhatikan sumber daya Insani pada individu maupun perusahaan.[5]Karakteristik mendasar yang dimiliki oleh Ekonomi Islam dan keuangan adalah ekonomi sosial dan distribusi pendapatan yang adil. Hal ini juga didasari sistem yang komprehensif terkait etika dan nilai moral. Seperti dalam perdagangan Internasional, Islam tidak memperbolehkan praktik dumping untuk mengatur harga yang dibuat-buat demi memperoleh keuntungan yang tinggi.[6]Ekonomi Islam juga melarang riba dalam peminjaman uang, spekulasi, perjudian dan segala permainan keuntungan yang lain dan menekankan pada sistem kesejahteraan sosial berasaskan saling membantu. Ekonomi Islam juga mengatur Zakat yang didistribusikan kepada yang tidak memiliki harta dan yang membutuhkannya. Hal ini diatur dalam ajaran Al qur’an 9:60.[7]Selain itu, Ekonomi Islam mengatur pembiayaan. Dalam peminjaman uang atau pem  biayaan, pinjaman yang diberikan kepada debitur tidak ditambah dengan biaya dari peminjaman atau hutang (bunga). Hutang debitur harus dibayarkan kepada kreditur, sampai kreditur memberi kelonggaran waktu dan walaupun debitur memberitahukan kebangkrutan. Karena hutang seseorang akan tetap utuh meski ia telah meninggal dunia, dan meski dia bangkrut. Kecuali jika debitur melepaskan hutang tersebut.[8]  Dalam keuangan, Ekonomi Islam juga mewajibkan semua transaksi keuangan dan instrumennya dilandasi dengan aset riil, dan transaksi bisnisnya juga disertai dengan norma kejujuran, transparansi dan keadilan. Memang benar bahwa standar emas tidak lagi bisa diadopsi secara utuh, namun pasti ada cara yang sangat aman dan mudah untuk menanggulangi banyaknya penciptaan uang. Dan prinsip keuangan Islam adalah semua aset finansial harus didasari aset riil (tidak harus emas atau perak).Apabila sistem finansial pada level nasional dan global menerapkan sistem ini dan berasaskan keadilan dan keseimbangan, pemerintah dapat memformulasikan kebijakan dengan mudah, yang berimbas pada adilnya distribusi pendapatan dan alokasi sumber daya. Hal ini seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an bahwa sistem keuangan itu layaknya hati di dalam tubuh manusia. Dan apabila ia terluka, maka bagian yang lain ikut merasakan luka itu.Akhirnya, sampai detik ini, sudah ada beberapa negara yang mengadopsi sistem ekonomi maupun keuangan berbasis prinsip Islam. Selama 25 tahun, sampai awal tahun 1970 an, Perbankan Islam layaknya sebuah mimpi yang belum terealisasikan. Akan tetapi pada tahun 1980, sistem ini mulai dimunculkan dan direalisasikan di Egypt, Pakistan, Malaysia dan Saudi Arabia. Bahkan studinya sudah diajarkan di beberapa universitas di dunia seperti Harvard dan Rice Universities di Amerika, London School of Economics, Loughborough dan Durham Universities di Inggris, International Islamic Universities di Malaysia dan banyak institusi pendidikan di Pakistan, Saudi Arabia dan Egypt.Perbankan dan Keuangan Islam telah diterapkan lebih dari 75 negara di seluruh dunia, dengan 550 Institusi Keuangan Islam di dalamnya. Selain itu mulai muncul fasilitator yang mengatur dan mengembangkan sistem ekonomi Islam ini seperti AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions), IFSB (Islamic Financial Services Board), IIFM (International Islamic Financial Market), LCM (Liquidity Management Centre), yang sudah diterapkan sejak lama oleh Bahrain, Malaysia, Saudi Arabia and Dubai.[9]

B.  Fitur Sistem Ekonomi Islam
1.               Objek (maqashid) syariah
Sebelum kita jauh membahas mengenai Ekonomi dan seluruh kegiatannya, perlu kiranya kita membaca dan memahami mengenai apakah tujuan (maqshud - maqashid) agama Islam mengatur adanya bentuk transaksi perekonomian. Hal ini karena setiap syariat atau aturan hukum agama harus mengandung salah satu di antara lima dasar dalam syariat atau yang biasa kita sebut dengan adh-dharuriyat al-khamsah. Sedikit akan disinggung mengenai lima dasar dalam syariat untuk sebuah misi kesejahteraan umat manusia.
Pertama, hifdz al-din atau menjaga agama. Seperti kewajiban berjihad memerangi orang-orang kafir pada masa Rasulullah dan sahabat. Kedua, hifdz an-nafs yaitu menjaga jiwa. Setiap kita diberi kebebasan untuk menjaga diri dan jiwanya sendiri dan orang yang menjadi tanggungannya (istri, anak) dari segala bentuk usaha yang dapat melukai. Seperti kewajiban adanya qishash bagi pembunuh. Ketiga, hifdz al-‘aql yaitu menjaga akal. Akal merupakan fadhl dari Allah swt. Yang diberikan hanya kepada manusia. Sehingga menjaga akal adalah bagian dari adh-dharuriyat al-khamsah. Dalam hal ini contohnya Islam mengharamkan meminum khamr atau minuman keras lainnya karena dapat merusak akal. Keempat, hifdz an-nasl atau menjaga keturunan. Karenanya dalam Islam terdapat beberapa aturan hukum sebagai bagian untuk mewujudkan nilai hifdz an-nasl, seperti aturan nikah lengkap dengan syarat rukunnya, talak, khulu’, keharaman zina, nikah mut’ah, dll.. Kelima, hifdz al-maal atau menjaga harta kekayaan. Setiap kita memiliki hak menjaga dan mempertahankan yang menjadi milik kita. karenanya dalam Islam ada hukum had sariqah bagi pencuri.
2.      Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memiliki definisi yang sedikit berbeda dengan ekonomi pada umumnya; kapitalis, sosialis, maupun apa yang kita sebut dengan ekonomi pancasila. Mohsin S. Khan sebagai ekonom senior di IMF mendefinisikan ekonomi Islam dengan:
“Broadly speaking, the term ‘Islamic Economics’ defines a complete system that prescribes a specific pattern of social and economic behaviour for all individuals. It deals with a wide-ranging set of issues, such as property rights, incentive system, allocation of resources, types of economic freedom, system of economic decision-making and proper role of the government. The over-riding objective of the system is social justice and specific patterns of income and wealth distribution and consequently economic policies are to be designed to achieve these ends.”
S. M. Hasanuz Zaman seorang praktisi IDB mendefinisikan ekonomi Islam dengan:
“Islamic Economics is the knowledge of application of injunctions and rules of the Shar¯ı´ah that stop injustice in the acquisition and disposition of material resources in order to provide satisfaction to individuals and enable them to perform their obligations to Allah and society.”

Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalan usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas dalam kerangka syariah. Namun definisi tersebut mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang kompatibel dan tidak universal. Karena dari definisi tersebut mendorong seseorang terperangkap dalam keputusan yang apriori (apriory judgement) benar atau salah tetap harus diterima.[10]
Definisi lain ditulis oleh Umar Chapra mengenai ekonomi Islam:
Islamic economics was defined as that branch wich helps realize human well-being through and allocation and distribution of scarce resources that is inconfinnity with Islamic teaching without unduly curbing individual freedom or creating continued macroeconomic and ecological imbalances

Jadi menurut Chapra ekonomi Islam adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.”[11]
3.      Kesejahteraan dalam Islam
Agama Islam lebih menekankan kegiatan ekonomi kepada kesejahteraan sosial masyarakat. Ekonomi Islam hendak membantah sistem ekonomi kapitalis di mana kondisi ekonomi masyarakat semakin timpang; yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Tidak ada kepedulian di dalam sistem ekonomi kapitalis. Namun, ekonomi Islam tidak begitu. Ia tidak membuat kaya-miskin sebagai poin yang mendorong adanya kesenjangan, melainkan sebagai pendorong nilai-nilai kepedulian antar sesama. Hal ini terbukti dengan adanya kewajiban zakat untuk menopang kehidupan mereka si miskin papa. Di sinilah nilai kesejahteraan dalam Islam dijunjung.
Dalam sistem ekonomi Islam pula harus bisa memastikan bahwa setiap individu mendapatkan tiga kebutuhan primernya (papan, pangan, sandang) dengan layak tanpa melihat perbedaan kondisi ekonominya.
C.  Tujuan Perusahaan Islami
Dalam suatu perusahaan berfungsi untuk memproduksi barang-barang yang diperlukan oleh masyarakat, disamping itu fungsi dari perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang maksimum dari suatu usaha tersebut, suatu perusahaan pasti akan mengalami berbagai permassalahan. Masalah pokok yang harus dipecahkan oleh produsen diantaranya adalah bagaimana komposisi dari faktor-faktor produksi yang digunakan, dan berapakah jumlah yang akan digunakan untuk masing-masing faktor produksi tersebut.
Ada dua aspek dalam memecahkan suatu permasalahan tersebut, yang perlu diperhatikan sebagai berikut:[12] pertama komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk menciptakan tingkat produksi yang tinggi dan komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tingkat produksi tertentu.
Setiap usaha dipandang dari sudut ekonomi memiliki tujuan yang sama yaitu mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaanya, dengan cara mengatur penggunaan faktor produksi dengan seefisien mungkin. Sehingga usaha untuk mengoptimalkan keuntungan dapat dicapai dengan cara yang efisien. Syed Othman Al-Habshi menjelaskan tentang teknik efisiensi yang terletak pada proses dimana memproduksi suatu barang. Al-Habshi membatasi pembatasannya dengan technikal effisient produk bersih, oleh karena itu suatu perusahaan dimaksudkan untuk memproduksi barang yang lebih banyak. Dalam kriteria ekonomi, suatu sistem produksi dikatakan lebih efisiensi bila memenuhi kriteria yaitu, untuk meminimalkan biaya dalam memproduksi jumlah barang yang sama dan mengoptimalkan produksi dengan biaya yang sama.
Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya menjadi intisari ajaran islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja senantiasa harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi masyarakat. Karena kegiatan produksi merupakan respon dari kegiatan konsumsi, maka kegiatan produksi diharapkan menciptakan manfaat (maslahah) bagi masyarakat. Produksi dalam perspektif islam tidak hanya berorientasi untuk memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya, meskipun mencari keuntungan juga tidak dilarang dalam islam. Jadi produsen yang islami tidak dapat sebagai profit optimalizer. Optimalisasi fallah menjadi keharusan dalam tujuan produksi dan konsumsi.
Dalam mencapai tujuan fallah suatu perusahaan juga tidak diperbolehkan untuk memproduksi barang-barang yang haram. Disamping itu pertumbuhan suatu perusahaan haruslah bisa memberikan manfaat untuk saat ini dan massa yang akan datang bagi masyarakat.
Sesuai dengan perspektif managerial, sistem ekonomi islam mengatur posisi pemilik modal dan manager dalam perusahaan. Pemilik modal diposisikan sebagai pihak yang menyediakan modal untuk usaha saja. Sedangkan manager diberi hak dalam mengelola perusahaan milik pemilik modal. Hal ini berbeda dengan sistem neoklasikal yang menerapkan dan memberikan kekuasaan utuh pada pemilik modal untuk mengelola perusahaan dan tidak memberi hak pada manajer dalam pengelolaannya.
Selain itu, ekonomi Islam juga mengatur tata kelola perusahaan demi mencapai tujuan fallah, yang mana sangatlah berbeda dengan tata kelola perusahaan barat. Perbedaaan tersebut dapat dilihat dari gaya dan struktur tata perusahaannya. Dalam perusahaan islam lebih mengedepankan pada aspek epistemologis (filosofis), islam menolak rasionalitas dan rasionalisme sebagai filosofis pada tata kelola perusahaan syariah dan menggantinya dengan tauhid. Adapun model syariah bertujuan untuk menempatkan maqasid syariah sebagai tujuan akhir. Hal ini mencakup pengertian melindungi kepentingan stakeholder sesuai tuntunan syariah.
Dalam rangka memenuhi maqasid syariah untuk kemaslahatan maka segala sesuatu yang mendukung terpenuhinya maqasid syariah adalah wajib hukumnya dalam kaidah fiqih dikatakan; “tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun hukumnya menjadi wajib”. Faktor pendukung terpenuhinya maqasid syariah adalah perusahaan, dimana perusahaan tersebut dibuat untuk menegakkan maqasid syariah.[13]
Al-Habshi menjelaskan bahwa islam menganjurkan pada umatnya untuk meraih kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Inilah yang menjadi faktor pendorong umat islam untuk beraktifitas bekerja dalam mencari rizky Allah, terutama dalam hal perdagangan untuk mencari keuntungan sebagai karunia Allah.
Demikian juga yang diungkapkan oleh Al-Habshi, tujuan perusahaan pertama yang harus dicapai adalah keuntungan, Islam tidak melarang untuk mencari keuntungan ini selagi masih ada dalam etika Islam. Etika Islam dalam mencari keuntungan adalah disamping mencari keuntungan materi juga spiritual, dalam arti mencari fallah atau keuntungan di dunia dan akhirat. Diaplikasikan dengan memberikan kemaslahatan bagi umat dengan memproduksi barang yang berguna bagi umat.[14]


[1] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014),  hlm. 68.
[2] Hadi Kuncoro, Manajemen Perusahaan Berbasis Maqasid Syariah, jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 2, No. 1, Maret 2013, hlm. 41
[3] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014),  hlm. 74

[1] Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 13
[2] Nur Rianto Al-Arif, Dasar – Dasar Ekonomi Islam, (Solo: Adicitra Intermedia, 2011), hlm. 7
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, John Wiley & Sons, Ltd., England, 2007, hlm. 10
[4] Muhammad Ayub, Op. Cit, hlm. 11-12
[5] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011), hlm. 167
[6] Muhammad Ayub, Op. Cit, hlm. 12
[7] Nur Kholis, Potret Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di Dunia, Millah: Jurnal Studi Agama, Vol. XVII, no. 1, 2017, hlm. 14-15
[8] Muhammad Ayub, Op. Cit, hlm. 13
[9] Muhammad Ayub, ibid, hlm. 15
    [10] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 14.
    [11] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 16. 
    [12] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014),  hlm. 68.
    [13] Hadi Kuncoro, Manajemen Perusahaan Berbasis Maqasid Syariah, jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 2, No. 1, Maret 2013, hlm. 41
                    [14] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014),  hlm. 74
Indah Piliyanti, Menggugat Sistem Kapitalisme, La Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 3, Juli 2009, hlm. 51-54
 A. Riawan Amin, Satanic Finance, (Jakarta: Celestial Publishing, 2007), hlm. 26-33
 Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 2

No comments:

Post a Comment