Ekonomi Keuangan Islam
Islam muncul sebagai sumber kekuatan yang baru pada abad ke-7 Masehi, menyusul runtuhnya kekaisaran Romawi. Kemunculan ini ditandai dengan berkembangnya peradaban baru yang sangat mengagumkan. Kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi serta kehidupan sosial lainnya termasuk ekonomi berkembang dengan sangat mengagumkan.
Fakta sejarah itu sesungguhnya menunjukkan bahwa Islam merupakan sistem kehidupan yang sangat komprehensif, yang mengatur semua aspek, baik dalam sosial, ekonomi dan politik maupun kehidupan yang bersifat spiritual. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt yang artinya : “Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (Q.S. An-Nahl (16):89).
Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam menjadi agamamu.” (Q.S. Al Maidah (5): 3)
Firman Allah SWT diatas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan baik yang bersifat materil maupun non materil. Oleh karena itu ekonomi sebagai satu aspek kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, Islam sebagai agama yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan untuk manusia dalam menjankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur dalam Al Qur’an dan Hadist Nabi.
Lahirnya sistem ekonomi Islam didasari oleh telaah para ahli ekonomi, para penentu kebijakan dan pemerintah atas sistem ekonomi yang telah berjalan sejak dahulu. Sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi komunis atau sosialis dianggap tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan, dan justru melahirkan kemiskinan dan keterpurukan bagi sebagian besar masyarakat, serta sering krisis ekonomi secara besar besaran.[1]
Dalam sistem konvensional, keserakahan manusia menjadi slogan yang populer di kalangan individu maupun sebagian perusahaan. Sistem keuangan berbasis bunga (Interest-based Financial System) dan penciptaan uang dari kekosongan (Creating money from nothing), semakin menguatkan ekploitasi sumber daya dan memperluas perbedaan serta menciptakan kesenjangan sosial antara yang punya dan tidak punya, yang miskin dan yang kaya.[2]
Ekonomi islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan islam itu sendiri. Islam harusnya dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya.[3]
A.
Ekonomi
dan Agama
Sistem ekonomi
yang saat ini bersifat sekuler, terjadi dikotomi antara antara agama dan
kegiatan duniawi sejak terjadinya dark age di Eropa. Suatu aliran
pemikiran muncul bahwa harus ada pembatasan antara aktivitas agama dan
aktivitas. Namun hal tersebut tidak berlaku pada ajaran Islam. Terbukti saat
terjadi dark age di Eropa, Islam justru mengalami masa kejayaan.[1]Meski
begitu, banyak sarjana atau pelajar yang menyalahkan kemiskinan seorang Muslim
itu disebabkan karena kepercayaan mereka akan ajaran Islam. Namun Marcus
Noland, seorang Ekonom terkemuka mengatakan bahwa asumsi tersebut salah. Dia
berpendapat “Tidak ada ajaran turun-temurun dari agama Islam yang dapat
menyebabkan seorang Muslim menjadi miskin”. Jadi, agama Islam dapat mempopulerkan
gagasan pertumbuhan.Jika
ingin mendiskusikan peran agama dalam Ilmu Ekonomi, manusia harus mengetahui
bahwa ekonomi adalah ilmu pengetahuan dari suatu sistem ekonomi. Dan sebuah
sistem ekonomi pastilah membahas mengenai sebuah pemikiran yang berdasarkan
beberapa ideologi. Sementara Ilmu Ekonomi juga harus disadari sebagai ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan penciptaan kekayaan. Jadi Istilah ekonomi
Islam dapat dimaknai menjadi tiga kemungkinan, yakni teori, sistem dan kegiatan
ekonomi umat Islam.[2]Maka dari itu, sebuah sistem terdiri dari tiga unsur utama:a.
Kepemilikan
tanah, uang dan kekayaan
b.
Pembagian
hak milik
c.
Distribusi
kekayaan antar manusia
Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem yang lain. Perbedaannya
terletak pada bagaimana manusia membagi hak milik dan distribusi penghasilan
antara kepada berbagai kalangan masyarakat, dengan menetapkan peran Negara untuk
memastikan bahwa ketidakadilan tidak dilakukan oleh masyarakat secara individu,
banyak orang maupun kelompok.[3]Faktanya, ekonomi Islam dapat mewujudkan keseimbangan antara aspek
sosial dan aspek ekonomi dalam kalangan manusia, kepentingan pribadi dan sosial,
dan antara individu, keluarga/rumah tangga, kelompok maupun negara. Hal ini
secara efektif dapat menanggulangi masalah yang terjadi seperti distribusi
pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan, yang mana hal ini tidak dapat
diselesaikan oleh sistem kapitalis.Dalam dunia kontemporer, Islam memiliki bukti makro tentang adilnya
distibusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Teori “The Tricle-Down” (The
Tricle Down Theory) yang digunakan di Malaysia pada tahun 1957-1970 telah
mengalami kegagalan yang sangat buruk dan berujung pada tragedi 13 Mei 1969,
yaitu kerusuhan antar bangsa dalam negara. Kemudian pemerintahan Malaysia
mengadopsi kebijakan baru yang dikaitkan dengan nilai nilai Islam, seperti
keadilan dan kejujuran, yang memberikan kontribusi besar dan menakjubkan
terhadap pencapaian negara pada tiga dekade terakhir. Kebijakan ini berhasil
menghapuskan kemiskinan, menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan
keadilan distribusi pendapatan.Ahli Ekonomi Islam mulai menelaah bahwasannya masalah ekonomi
berasal dari:1.
Tidak
adanya pengawasan dan pengontrolan dalam praktek penciptaan uang
2.
Tidak
adanya batas etika dalam praktik pada pasar
3.
Adanya
tekanan pada pertumbuhan dan keuntungan tanpa mempedulikan aspek distribusi
pendapatan
4.
Tidak
adanya peran positif dari Negara dan penentu kebijakan dalam membatasi
keserakahan masyarakat dan praktik perolehan keuntungan yang tidak terkendali[4] Ditinjau dari masalah yang muncul di atas, Ekonomi Islam memberi
solusi dengan diadakannya pengawasan terhadap faktor-faktor diatas. Ekonomi
Islam fokus pada keadilan dan kejujuran pada semua dan peduli pada pemenuhan
hak – hak orang lain, dengan tetap dilandasi oleh etika dan moral. Prinsip –
prinsip tersebut yang bisa diadopsi untuk memberi keringanan pada masyarakat.Disamping itu, Islam mengatur banyak hal terkait dengan perilaku
masyarakat. Dalam mekanisme pasar, hukum Islam menawarkan kontrak – kontrak
lain yang disertai dengan peraturan yang rinci. Selain itu, Islam juga
memperhatikan sumber daya Insani pada individu maupun perusahaan.[5]Karakteristik mendasar yang dimiliki oleh Ekonomi Islam dan
keuangan adalah ekonomi sosial dan distribusi pendapatan yang adil. Hal ini
juga didasari sistem yang komprehensif terkait etika dan nilai moral. Seperti
dalam perdagangan Internasional, Islam tidak memperbolehkan praktik dumping
untuk mengatur harga yang dibuat-buat demi memperoleh keuntungan yang tinggi.[6]Ekonomi Islam juga melarang riba dalam peminjaman uang, spekulasi,
perjudian dan segala permainan keuntungan yang lain dan menekankan pada sistem
kesejahteraan sosial berasaskan saling membantu. Ekonomi Islam juga mengatur
Zakat yang didistribusikan kepada yang tidak memiliki harta dan yang
membutuhkannya. Hal ini diatur dalam ajaran Al qur’an 9:60.[7]Selain itu, Ekonomi Islam mengatur pembiayaan. Dalam peminjaman
uang atau pem biayaan, pinjaman yang
diberikan kepada debitur tidak ditambah dengan biaya dari peminjaman atau
hutang (bunga). Hutang debitur harus dibayarkan kepada kreditur, sampai
kreditur memberi kelonggaran waktu dan walaupun debitur memberitahukan
kebangkrutan. Karena hutang seseorang akan tetap utuh meski ia telah meninggal
dunia, dan meski dia bangkrut. Kecuali jika debitur melepaskan hutang tersebut.[8] Dalam keuangan, Ekonomi Islam juga mewajibkan semua transaksi
keuangan dan instrumennya dilandasi dengan aset riil, dan transaksi bisnisnya
juga disertai dengan norma kejujuran, transparansi dan keadilan. Memang benar
bahwa standar emas tidak lagi bisa diadopsi secara utuh, namun pasti ada cara
yang sangat aman dan mudah untuk menanggulangi banyaknya penciptaan uang. Dan
prinsip keuangan Islam adalah semua aset finansial harus didasari aset riil
(tidak harus emas atau perak).Apabila sistem finansial pada level nasional dan global menerapkan
sistem ini dan berasaskan keadilan dan keseimbangan, pemerintah dapat memformulasikan
kebijakan dengan mudah, yang berimbas pada adilnya distribusi pendapatan dan
alokasi sumber daya. Hal ini seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an bahwa
sistem keuangan itu layaknya hati di dalam tubuh manusia. Dan apabila ia
terluka, maka bagian yang lain ikut merasakan luka itu.Akhirnya, sampai detik ini, sudah ada beberapa negara yang
mengadopsi sistem ekonomi maupun keuangan berbasis prinsip Islam. Selama 25
tahun, sampai awal tahun 1970 an, Perbankan Islam layaknya sebuah mimpi yang
belum terealisasikan. Akan tetapi pada tahun 1980, sistem ini mulai dimunculkan
dan direalisasikan di Egypt, Pakistan, Malaysia dan Saudi Arabia. Bahkan
studinya sudah diajarkan di beberapa universitas di dunia seperti Harvard dan
Rice Universities di Amerika, London School of Economics, Loughborough dan
Durham Universities di Inggris, International Islamic Universities di Malaysia dan
banyak institusi pendidikan di Pakistan, Saudi Arabia dan Egypt.Perbankan dan Keuangan Islam telah diterapkan lebih dari 75 negara
di seluruh dunia, dengan 550 Institusi Keuangan Islam di dalamnya. Selain itu
mulai muncul fasilitator yang mengatur dan mengembangkan sistem ekonomi Islam
ini seperti AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions), IFSB (Islamic Financial Services Board), IIFM (International
Islamic Financial Market), LCM (Liquidity Management Centre), yang sudah
diterapkan sejak lama oleh Bahrain, Malaysia, Saudi Arabia and Dubai.[9]
B. Fitur
Sistem Ekonomi Islam
1. Objek (maqashid) syariah
Sebelum kita jauh membahas mengenai Ekonomi
dan seluruh kegiatannya, perlu kiranya kita membaca dan memahami mengenai apakah
tujuan (maqshud - maqashid) agama Islam mengatur adanya bentuk transaksi
perekonomian. Hal ini karena setiap syariat atau aturan hukum agama harus
mengandung salah satu di antara lima dasar dalam syariat atau yang biasa kita
sebut dengan adh-dharuriyat al-khamsah. Sedikit akan disinggung mengenai
lima dasar dalam syariat untuk sebuah misi kesejahteraan umat manusia.
Pertama, hifdz al-din atau menjaga
agama. Seperti kewajiban berjihad memerangi orang-orang kafir pada masa
Rasulullah dan sahabat. Kedua, hifdz an-nafs yaitu menjaga jiwa. Setiap kita
diberi kebebasan untuk menjaga diri dan jiwanya sendiri dan orang yang menjadi
tanggungannya (istri, anak) dari segala bentuk usaha yang dapat melukai.
Seperti kewajiban adanya qishash bagi pembunuh. Ketiga, hifdz al-‘aql
yaitu menjaga akal. Akal merupakan fadhl dari Allah swt. Yang diberikan hanya
kepada manusia. Sehingga menjaga akal adalah bagian dari adh-dharuriyat
al-khamsah. Dalam hal ini contohnya Islam mengharamkan meminum khamr
atau minuman keras lainnya karena dapat merusak akal. Keempat, hifdz an-nasl
atau menjaga keturunan. Karenanya dalam Islam terdapat beberapa aturan hukum
sebagai bagian untuk mewujudkan nilai hifdz an-nasl, seperti aturan
nikah lengkap dengan syarat rukunnya, talak, khulu’, keharaman zina, nikah
mut’ah, dll.. Kelima, hifdz al-maal atau menjaga harta kekayaan. Setiap
kita memiliki hak menjaga dan mempertahankan yang menjadi milik kita. karenanya
dalam Islam ada hukum had sariqah bagi pencuri.
2.
Definisi Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memiliki definisi yang sedikit
berbeda dengan ekonomi pada umumnya; kapitalis, sosialis, maupun apa yang kita
sebut dengan ekonomi pancasila. Mohsin S. Khan sebagai ekonom senior di IMF
mendefinisikan ekonomi Islam dengan:
“Broadly speaking, the term ‘Islamic
Economics’ defines a complete system that prescribes a specific pattern of
social and economic behaviour for all individuals. It deals
with a wide-ranging set of issues, such as property rights, incentive system,
allocation of resources, types of economic freedom, system of economic
decision-making and proper role of the government. The over-riding objective of
the system is social justice and specific patterns of income and wealth
distribution and consequently economic policies are to be designed to achieve
these ends.”
S. M. Hasanuz Zaman seorang praktisi IDB
mendefinisikan ekonomi Islam dengan:
“Islamic Economics is the knowledge
of application of injunctions and rules of the Shar¯ı´ah that stop injustice in
the acquisition and disposition of material resources in order to provide
satisfaction to individuals and enable them to perform their obligations to Allah
and society.”
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam
sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalan usaha untuk memenuhi
kebutuhan dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas dalam kerangka syariah.
Namun definisi tersebut mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang
kompatibel dan tidak universal. Karena dari definisi tersebut mendorong
seseorang terperangkap dalam keputusan yang apriori (apriory judgement)
benar atau salah tetap harus diterima.[10]
Definisi lain ditulis oleh Umar Chapra
mengenai ekonomi Islam:
“Islamic economics was defined as that
branch wich helps realize human well-being through and allocation and
distribution of scarce resources that is inconfinnity with Islamic teaching
without unduly curbing individual freedom or creating continued macroeconomic
and ecological imbalances”
Jadi menurut Chapra ekonomi Islam adalah
sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui
alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang
mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa
perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan
lingkungan.”[11]
3.
Kesejahteraan dalam Islam
Agama Islam lebih menekankan kegiatan ekonomi
kepada kesejahteraan sosial masyarakat. Ekonomi Islam hendak membantah sistem
ekonomi kapitalis di mana kondisi ekonomi masyarakat semakin timpang; yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Tidak ada kepedulian di dalam
sistem ekonomi kapitalis. Namun, ekonomi Islam tidak begitu. Ia tidak membuat
kaya-miskin sebagai poin yang mendorong adanya kesenjangan, melainkan sebagai
pendorong nilai-nilai kepedulian antar sesama. Hal ini terbukti dengan adanya
kewajiban zakat untuk menopang kehidupan mereka si miskin papa. Di sinilah
nilai kesejahteraan dalam Islam dijunjung.
Dalam sistem ekonomi Islam pula harus bisa
memastikan bahwa setiap individu mendapatkan tiga kebutuhan primernya (papan,
pangan, sandang) dengan layak tanpa melihat perbedaan kondisi ekonominya.
C. Tujuan
Perusahaan Islami
Dalam suatu perusahaan berfungsi untuk memproduksi barang-barang
yang diperlukan oleh masyarakat, disamping itu fungsi dari perusahaan untuk
memperoleh keuntungan yang maksimum dari suatu usaha tersebut, suatu perusahaan
pasti akan mengalami berbagai permassalahan. Masalah pokok yang harus
dipecahkan oleh produsen diantaranya adalah bagaimana komposisi dari
faktor-faktor produksi yang digunakan, dan berapakah jumlah yang akan digunakan
untuk masing-masing faktor produksi tersebut.
Ada dua aspek dalam memecahkan suatu permasalahan tersebut, yang
perlu diperhatikan sebagai berikut:[12]
pertama komposisi faktor produksi yang bagaimana bagi seorang muslim untuk
menciptakan tingkat produksi yang tinggi dan komposisi faktor produksi yang
bagaimana bagi seorang muslim untuk meminimumkan biaya produksi yang
dikeluarkan untuk mencapai suatu tingkat produksi tertentu.
Setiap usaha dipandang dari sudut ekonomi memiliki tujuan yang sama
yaitu mengoptimalkan keuntungan bagi perusahaanya, dengan cara mengatur
penggunaan faktor produksi dengan seefisien mungkin. Sehingga usaha untuk
mengoptimalkan keuntungan dapat dicapai dengan cara yang efisien. Syed Othman
Al-Habshi menjelaskan tentang teknik efisiensi yang terletak pada proses dimana
memproduksi suatu barang. Al-Habshi membatasi pembatasannya dengan technikal
effisient produk bersih, oleh karena itu suatu perusahaan dimaksudkan untuk
memproduksi barang yang lebih banyak. Dalam kriteria ekonomi, suatu sistem
produksi dikatakan lebih efisiensi bila memenuhi kriteria yaitu, untuk meminimalkan
biaya dalam memproduksi jumlah barang yang sama dan mengoptimalkan produksi
dengan biaya yang sama.
Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan
sesungguhnya menjadi intisari ajaran islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu
saja senantiasa harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan bagi
masyarakat. Karena kegiatan produksi merupakan respon dari kegiatan konsumsi,
maka kegiatan produksi diharapkan menciptakan manfaat (maslahah) bagi
masyarakat. Produksi dalam perspektif islam tidak hanya berorientasi untuk
memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya, meskipun mencari keuntungan juga
tidak dilarang dalam islam. Jadi produsen yang islami tidak dapat sebagai profit
optimalizer. Optimalisasi fallah menjadi keharusan dalam tujuan
produksi dan konsumsi.
Dalam mencapai tujuan fallah suatu perusahaan juga tidak diperbolehkan
untuk memproduksi barang-barang yang haram. Disamping itu pertumbuhan suatu
perusahaan haruslah bisa memberikan manfaat untuk saat ini dan massa yang akan
datang bagi masyarakat.
Sesuai dengan perspektif managerial, sistem ekonomi islam mengatur
posisi pemilik modal dan manager dalam perusahaan. Pemilik modal diposisikan
sebagai pihak yang menyediakan modal untuk usaha saja. Sedangkan manager diberi
hak dalam mengelola perusahaan milik pemilik modal. Hal ini berbeda dengan
sistem neoklasikal yang menerapkan dan memberikan kekuasaan utuh pada pemilik
modal untuk mengelola perusahaan dan tidak memberi hak pada manajer dalam
pengelolaannya.
Selain itu, ekonomi Islam juga mengatur tata kelola perusahaan demi
mencapai tujuan fallah, yang mana sangatlah berbeda dengan tata kelola
perusahaan barat. Perbedaaan tersebut dapat dilihat dari gaya dan struktur tata
perusahaannya. Dalam perusahaan islam lebih mengedepankan pada aspek
epistemologis (filosofis), islam menolak rasionalitas dan rasionalisme sebagai
filosofis pada tata kelola perusahaan syariah dan menggantinya dengan tauhid.
Adapun model syariah bertujuan untuk menempatkan maqasid syariah sebagai tujuan
akhir. Hal ini mencakup pengertian melindungi kepentingan stakeholder
sesuai tuntunan syariah.
Dalam rangka memenuhi maqasid syariah untuk kemaslahatan maka
segala sesuatu yang mendukung terpenuhinya maqasid syariah adalah wajib
hukumnya dalam kaidah fiqih dikatakan; “tidak akan sempurna suatu kewajiban
kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun hukumnya
menjadi wajib”. Faktor pendukung terpenuhinya maqasid syariah adalah
perusahaan, dimana perusahaan tersebut dibuat untuk menegakkan maqasid syariah.[13]
Al-Habshi menjelaskan bahwa islam menganjurkan pada umatnya untuk
meraih kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Inilah yang menjadi faktor
pendorong umat islam untuk beraktifitas bekerja dalam mencari rizky Allah,
terutama dalam hal perdagangan untuk mencari keuntungan sebagai karunia Allah.
Demikian juga yang diungkapkan oleh Al-Habshi, tujuan perusahaan
pertama yang harus dicapai adalah keuntungan, Islam tidak melarang untuk
mencari keuntungan ini selagi masih ada dalam etika Islam. Etika Islam dalam
mencari keuntungan adalah disamping mencari keuntungan materi juga spiritual,
dalam arti mencari fallah atau keuntungan di dunia dan akhirat.
Diaplikasikan dengan memberikan kemaslahatan bagi umat dengan memproduksi
barang yang berguna bagi umat.[14]
[1] Muhamad, Manajemen
keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN,
2014), hlm. 68.
[2] Hadi Kuncoro, Manajemen
Perusahaan Berbasis Maqasid Syariah, jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata
Sosial, Vol. 2, No. 1, Maret 2013, hlm. 41
[3] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan,
(Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm.
74
[1] Nur Rianto Al
Arif, Lembaga Keuangan Syariah, Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung:
Pustaka Setia, 2012), hal. 13
[2] Nur Rianto
Al-Arif, Dasar – Dasar Ekonomi Islam, (Solo: Adicitra Intermedia, 2011),
hlm. 7
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, John Wiley & Sons,
Ltd., England, 2007, hlm. 10
[4] Muhammad Ayub,
Op. Cit, hlm. 11-12
[5] Muhammad, Manajemen
Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011), hlm. 167
[6] Muhammad Ayub,
Op. Cit, hlm. 12
[7] Nur Kholis, Potret
Perkembangan dan Praktik Keuangan Islam di Dunia, Millah: Jurnal Studi
Agama, Vol. XVII, no. 1, 2017, hlm. 14-15
[8] Muhammad Ayub,
Op. Cit, hlm. 13
[9] Muhammad Ayub,
ibid, hlm. 15
[10] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 14.
[11] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 16.
[12] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm. 68.
[13] Hadi Kuncoro, Manajemen Perusahaan Berbasis Maqasid Syariah, jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol. 2, No. 1, Maret 2013, hlm. 41
[14] Muhamad, Manajemen keuangan syariah analisis fiqh dan keuangan, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm. 74
Indah
Piliyanti, Menggugat Sistem Kapitalisme, La Riba Jurnal Ekonomi Islam,
Vol. 3, Juli 2009, hlm. 51-54
A. Riawan Amin, Satanic Finance, (Jakarta: Celestial Publishing, 2007), hlm. 26-33
A. Riawan Amin, Satanic Finance, (Jakarta: Celestial Publishing, 2007), hlm. 26-33
Mustafa Edwin
Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007),
hlm. 2
No comments:
Post a Comment