Saturday, October 5, 2019

Kontrak Dan Hukum Islam

Kontrak dan Hukum Islam
Oleh:
Khairusoalihin, Dini Maulana Lestari, Fitri Utami

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

A.   Pendahuluan
Hukum Islam mengatur segala kehidupan manusia secara menyeluruh, mencakup segala aspek yang ada kaitannya dengan kehidupan tersebut, yakni segala aspek hubungan antar manusia dan hubungan antara manusia dengan sang Pencipta. Berbicara mengenai aspek muamalat sangatlah luas cakupannya, baik bersifat pribadi maupun umum, seperti perkawinan, waris, ibadah, transaksi ketatanegaraan, peradilan, kontrak atau perjanjia dan lain sebagainya (Abdul Manan, 2012; 71). Kegiatan muamalat merupakan suatu hal yang penting dalam siklus keidupan manusia, hal ini terjadi kerena dengan bermuamalat manusia dapat menjalankan segala aktivitasnya secara efektif serta dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Secara Bahasa kontrak dalam Islam disebut sebagai akad, kata tersebut berasal dari Bahasa arab yakni “al-‘aqd’ yang berarti perjanjian, perikatan, kontrak, pemufakatan, dan transaksi (Abdul Manan, 2012;72). Sedangkan secara terminology, Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan bahwa akad ialah suatu perjanjian yakni adanya ijab dan qobul yang sesuai dengan kehendak syariat, dimana hal tersebut mengakibatkan suatu hokum atas objek perjannjian tersebut (Wahbah az-Zuhaili, 2007; 2918). Lebih lanjut, Nasroen Haroen menjelaskan bahwa pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat memiliki arti bahwa setiap aktivitas yang tertuang dalam kontrak atau perjanjian tersebut haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah syariah seperti tidak adanya riba, gharar,maisir serta hal-hal lain nya yang bertentangan dengan kaidah tersebut. Karena apabila dalam suatu kontrak atau perjanjian mengandung hal-hal siatas tersebut, maka akad tersebut dianggap tidak sah (nasroen haroen, 2000; 97).  Adapun pencantuman kalimat berpengaruh pada objek akad dimaksudkan adalah aterjadinya suatu pemindahan kepemilikan dari satu pihak ke ihak lain yang ditandai dengan ijab dan qabul tersebut. Dengan demikian, adanya ijab dan qabul dalam suatu akad menimbulkan suatu hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang turut serta di dalamnya (Abdul Manan, 2012; 73).
Kontrak dalam hokum Islam tidak jauh berbeda dengan yang ada pada hokum perdata umum yang berlandaskan pada KUHP, hanya saja terdapat beberapa perbedaan yang tidak signifikan dalam tahapan perjanjian kontrak tersebut. Menurut Gmala Dewi, perbedaan mendasar mengenai kontrak atau perjanjian yang ada pada hukum Islam dan hukum perdata ialah pada tahap perjanjian nya (Gemala Dewi, 2005; 47). Dalam arti, kontrak atau perikatan dalam hukum Islam lembar perjanjian atara pihak pertama dan pihak kedua dilakukan ssecara terpisah, yang setelah itu lahirlah suatu konrak perjannjian. Sedangkan daam hokum perdata, untuk membentuk suatu kontrak perjanjian, lembar perjanjian atara pihak pertama dengan pihak kedua dilakukan tidak terpisah. Selain daripada itu, perbedaan mendasar lainnya ialah adanya ijab dan qabul yang bersifat mengikat dan krusial yang harus dilakukan di awal perjanjian dalam hhukum perjanjian Islam.
Dari uraian diatas dapat ditarik suatu benang merah bahwa dalam hokum perjanjian Islam unsur yang harus dipenuhi ialah adanya ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang melakukan kontrak perjanjian. Selanjutnnya, dalam kontrak perjanjian Islam, konrak tersebut haruslah sesuai dengan kaida atauran syariat. Disamping itu, dalam setiap kontrak yang dilakukan haruslah mempunya akibat hokum atas objek akad tersebut dan harus memberikan konsekuensi hokum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang mengikat para pihak di dalamnya.

B.  Elemen-elemen Kontrak
  Suatu kontrak harus memiliki elemen atau rukun yang ada didalam setiap kontrak. Jika salah satu rukun tidak ada dalam kontrak, maka kontrak tersebut dipandang tidak sah dalam suatu pandangan hokum Islam. Adapun beberapa rukun atau elemen yang harus dipenuhi dalam suatu kontrak perjanjian adalah sebagai berikut (Abdul Manan, 2012; 83):
1.    Ijab dan Qabul (Shigat Kontrak)
Formulasi ijab dan qabul suatu kontrak dapat dilaksanakan dengan sebuah ucapan, tulisan atau isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara berbicara atau menulis. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ada tiga syarat yang harus di penuhi agar suatu ijab dan qabul dipandang sah secara hkukum, yakni: pertama, tujuan yang terkandung di dalam nya harslah jelas, sehingga dapat dipahami isi dan jenis kontrak yang di kehendaki; kedua, adanya kesesuaian atara ijab dan qabul; ketiga, tidak adanya keraguan, paksaan, serta tekanan antara kedua belah pihak dalam melakukan suatu kontrak (Wahbah az-Zuhaili, 1997;104-106).
2.    Objek Akad
Objek perjanjian merupakan suatu hal yang sangat krusial. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek kontrak harus memenuhi empat syarat yakni, konkret dalam arti harus ada wujud dan spesifikasi yang jelas; kedua, objek haruslah susuai dengan ketentuan syariat; ketiga, harus dpat diserahkan ketika sudah terjadinya kontrak; keempat, objek kontrak hasrus diketahui oleh kedua belah pihak secara jelas (Abdul Manan, 2013; 85).
3.    Pihak-pihak yang Melaksanakan Kontrak
Pihak-pihak yang melaksanakan kontrak yang selannjutnya disebut sebagi subjek hukum merupakan suatu elemen yang harus ada ketika akan melakukan sebuah kontrak atau perjanjian. Subjek hukum tersebut masing-masing memiliki hak dan kewajibat atas dirinya. Adapun syarat sseseorang di perbolehkan melakukan suatu kontrak perjanjian menurut hukum Islam salah satunya ialah cakap hukum, dalam arti mereka yang memliki akal yang sehat, dewasa (baligh) serta tidak terganggu kejiwaan nya (Hasballah Thalib, 1992; 9).
4.    Tujuan Kontrak
Dalam hukum Islam, tujuan suatu kontrak adalah untuk apa suatu kontrak dilakukan dalam rangka melaksanakan suatu kegiatan muamalah antara manusia , dan yang menentukan akibat hukum dari suatu kontrak tersebut adalah Allah. Tujuan yang diaksud disini ialah suatu tujuan demi tercapainya suatu keaslahatan, dan menghindari kemudharatan (Abdul Manan, 2012; 88).

Berdasarkan pemaparan diatas, disamping rukun-rukun yang telah disebutkan tadi, suatu kontrak haruslah memiliki  elemen utama, yakni: bagian pembukaan kontrak, bagian tubuh kontrak, serta bagian penutup kontrak. Selain elemen-elemen akad, terdapat juga asas-asas yang harus dipenuhi dalam suatu akad menurut hukum Islam, yakni sebagai berikut:
1.    Kebebasan
Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, baik tentang objek perjanjian maupun syarat-syaratnya, termasuk mendapatkan cara-cara peyelesaian sengketa apabila terjadi di kemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-syarat tersebut dibenarkan dalam kaidah hukum Islam selama hal tersebut tidak bertentangan dengan kaidah itu sendiri (Abdul Manan, 2012; 75).
2.    Persamaan dan Kesetaraan
Asas ini memberikan lndasan bahwa kedua belh ppihak yang melakukan kontrak perjanjian mempunyai kedudukan yang sama atara satu dengan yang lain. Asas ini penting untuk dilaksanakan para pihak yang terlibat di dalamnya, hal tersebut karena erat kaitan nya dengan penentuan suatu hak dan kewajiban yag harus dilakukan oleh kedua belah pihak (Abdul Manan, 2012; 76).
3.    Keadilan
Pelaksanaan asas ini dalam kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, emmenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi segala hak dan keajiban, tidak saling mendzalimi, dan dilakukan nya secara berimbang tanpa merugikan pihak lain yang terlibat di dalamnya.
4.    Kerelaan
  Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang membuatnya.  (Abdul Manan, 2012; 79).
5.    Tertulis
Dalam melakukan kontrak adalah suatu keharusan untuk melakukan nyasecara tertulis supaya tidak terjadi permasalahan di kemudian hari. Hal tersebut penting dilakukan agar kontrak tersebut berada dalam kebakan bagi semua pihak yang melakukannya. Agar hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka dalam kontrak tersebut harus tertulis secara rinci apa-apa saja yang dibutuhkan dalam mencapai kemaslahatan (Abdul Manan, 2012; 81).

C.  Jenis-Jenis Kontrak (Akad)
Kontrak (akad) dapat diklasifikasikan sesuai dengan beberapa persfektif. Para fuqaha secara umum membagi kontrak (akad) ke dalam dua jenis, yaitu kontrak (akad) yang sah (sahih) dan tidak sah. Kontrak (akad) yang sah adalah yang memenuhi semua persyaratan, sementara kontrak (akad) yang tidak sah ialah kontrak (akad) yang didalamnya ada salah satu persyaratan atau lebih yang dilanggar (Muhammad ayyub, 2009; 183). Berikut akad yang dibagi menjadi dua (Muhham Azam, 2010; 20):


1.     Kontrak (Akad) Sah
Kontrak (Akad) sah adalah akad yang telah memenuhi rukun dan elemen-elemen Akad menurut hukum Islam. Kontrak (akad) dianggap sah ketika semua elemen kontrak (akad) dapat terpenuhi dan terbebas dari aktivitas eksternal yang dilarang. Hukum dari kontrak sah ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang di timbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafiyah membagi Akad sah menjadi dua macam yaitu (Muhham Azam, 2010; 20):
a.    Akad Nafiz (sempurna untuk di laksanakan). Akad ini adalah akad yang di langsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b.    Akad Mawquf. Akad ini adalah akad yang di lakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang di langsungkan oleh anak kecil yang mumayyiz.
2.    Kontrak (Akad) Tidak Sah
Kontrak atau Akad yang tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun maupun elemen elemennya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad sehingga dianggap cacat dan dapat dibatalkan. Akad yang tidak sah dibagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.    Akad Bathil. Akad ini adalah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
b.    Akad Fasid. Akad ini adalah akad yang pada dasarnya di syariatkan, akan tetapi sifat yang di akadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak di tunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan di jual, atau tidak di sebut brand kendaraan yang di jual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa akad bathil dan akad fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.

D.  Aturan Umum Kesahihan Kontrak
Menurut Muhammad Ayub (Muhammad Ayub, 2009; 110) dalam bukunya, menjelaskan ada delapan aturan umum kontrak dalam validitas mu’amat, yaitu:
1.    Persetujuan bersama yang bebas (Ridha)
Semua transaksi harus didasarkan pada persetujuan bersama yang bebas dari paksaan oleh kedua belah pihak, supaya kontrak menjadi sah dan dapat dilaksanakan. Persetujuan yang dibutuhkan untuk pembentukan suatu kontrak yang sah adalah persetujuan yang bebas. Persetujuan yang didapat melalui penekanan, penipuan, dan persepsi yang salah menjadikan suatu kontrak tidak sah sesuai dengan hukum islami. Kemudian, pihak-pihak yang menyetujui suatu kontrak harus memiliki pengetahuan tertentu dan jelas mengetahui subjek kontrak serta hak dan kewajiban yang muncul. Oleh sebab itu, pemeriksaan atas subjek dan dokumentasi yang memadai dari transaksi, khususnya apabila melibatkan kredit, mendapatkan dukungan dan penekanan.
2.    Larangan Gharar
Semua kontrak yang sah harus bebas dari ketidakpastian yang berlebihan (Gharar) mengenai subjek atau pertimbangan (harga) yang ada dalam pertukaran. Gharar dalam hal ini diartikan sebagai ketidakpastian mengenai hasil akhir kontrak, yang dapat mengiring pada perselisihan dan perkara pengadilan. Contoh-contoh transaksi yang didasarkan pada Gharar adalah penjualan ikan di dalam air, buah-buah di pohon pada awal musim sebelum kualitasnya dapat terlihat atau penjualan di masa depan dari produk-produk suatu pabrik yang masih dalam pembangunan yang produk-produknya tidak didefinisikan atau dispesifikasikan secara jelas.
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil. Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil (Bayu Tri Cahya, 2014; 111).
3.    # 3.Menghindari Riba
Riba adalah kenaikan tanpa adanya pertimbangan yang sesuai dalam suatu pertukaran atas suatu aset dengan aset lainnya (Bayu Tri Cahya, 2014; 111). Kenaikan tanpa adanya pertimbangan yang sesuai bisa ada, entah dalam suatu transaksi pertukaran atau transaksi pinjaman. sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah ayat 275, yang mengandung arti ”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
4.    Menghindari Qimar dan Maisir
Qimar meliputi setiap bentuk keuntungan atau uang yang perolehannya bergantung sepenuhnya pada keberuntungan dan peluang. Sedangkan Maisir berarti mendapatkan sesuatu dengan terlalu mudah atau mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja sama sekali. Semua kontrak yang melibatkan Qimar dan Maisir dilarang karna tidak sesuai dengan syariah.
5.    Larangan dua kontrak yang saling bergantung
Dua kontrak yang tidak konsisten dan saling bergantung telah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini mengacu pada (Bayu Tri Cahya, 2014; 112):
a.    Penjualan dua barang sedemikian supa dimana orang yang ingin membeli suatu barang diwajibkan membeli barang lain pada harga tertentu.
b.    Penjualan sebuah barang tunggal untuk dua harga sedangkan salah satu harganya belum ditentukan pada saat pelaksanaan penjualan.
c.    Penjualan yang bergantung
d.   Penggambungan penjualan dan peminjaman dalam satu kontrak.
Untuk menghindari pelarangan ini, para ahli hukum berpendapat bahwa lebih baik suatu kontrak penjualan hanya terkait pada satu transaksi, dan kontrak yang mencakup lebih dari satu transaksi sebaiknya kontrak terpisah berdasarkan masing-masing transaksi.
6.    Kesesuaian kontrak dengan Maqasid Syariah
Syariah diarahkan kepada realisasi berbagai tujuan untuk ksejahteraan umat manusia. Tujuan syariah telah banyak ditekankan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kontrak atau transaksi apapun yang menghalangi salah satu sasaran tersebut, maka menjadi tidak sah. Sangat jelas bahwa hak dari sesama umat harus dihargai dari sudut pandang semua transaksi. Hak-hak Allah SWT dalam syariah juga merujuk pada semua hal yang melibatkan manfaat masyarakat secara luas. Oleh sebab itu, kontrak apapun seharusnya tidak  berlawanan dengan manfaat publik secara luas.
7.    Keuntungan dengan kewajiban
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang berhak mendapat untung apabila ia menanggung risiko kerugian dalam berbisnis. Ia ada dalam beberapa kontrak, seperti kontrak penjualan, penyewaan, atau perkongsian. Kelebihan yang timbul dari usaha tersebut dan yang melewati jumlah pokok yang dibayarkan kepada kreditur oleh debitur dilarang, karena kreditor tidak menanggung risiko bisnis sedikitpun berkaitan dengan sejumlah uang yang dipinjamkannya, dalam perjanjian penjualan dan penyewaan, pihak-pihak harus menanggung risiko yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing kontrak.
8.    Diperbolehkan sebagai peraturan umum
Pada dasarnya semua yang tidak dilarang itu diperbolehkan. Prinsip diperbolehkan ini terbentuk dengan catatan bahwa semua perjanjian dan ketentuan yang ada didalamnya diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.

No comments:

Post a Comment