Kontrak
dan Hukum Islam
Oleh:
Khairusoalihin, Dini Maulana Lestari,
Fitri Utami
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta
A. Pendahuluan
Hukum Islam
mengatur segala kehidupan manusia secara menyeluruh, mencakup segala aspek yang
ada kaitannya dengan kehidupan tersebut, yakni segala aspek hubungan antar
manusia dan hubungan antara manusia dengan sang Pencipta. Berbicara mengenai
aspek muamalat sangatlah luas cakupannya, baik bersifat pribadi maupun umum,
seperti perkawinan, waris, ibadah, transaksi ketatanegaraan, peradilan, kontrak
atau perjanjia dan lain sebagainya (Abdul Manan, 2012; 71). Kegiatan muamalat
merupakan suatu hal yang penting dalam siklus keidupan manusia, hal ini terjadi
kerena dengan bermuamalat manusia dapat menjalankan segala aktivitasnya secara
efektif serta dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Secara Bahasa
kontrak dalam Islam disebut sebagai akad, kata tersebut berasal dari
Bahasa arab yakni “al-‘aqd’ yang berarti perjanjian, perikatan, kontrak,
pemufakatan, dan transaksi (Abdul Manan, 2012;72). Sedangkan secara
terminology, Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan bahwa akad ialah suatu perjanjian
yakni adanya ijab dan qobul yang sesuai dengan kehendak syariat,
dimana hal tersebut mengakibatkan suatu hokum atas objek perjannjian tersebut
(Wahbah az-Zuhaili, 2007; 2918). Lebih lanjut, Nasroen Haroen menjelaskan bahwa
pencantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat memiliki arti bahwa
setiap aktivitas yang tertuang dalam kontrak atau perjanjian tersebut haruslah
sesuai dengan kaidah-kaidah syariah seperti tidak adanya riba, gharar,maisir
serta hal-hal lain nya yang bertentangan dengan kaidah tersebut. Karena apabila
dalam suatu kontrak atau perjanjian mengandung hal-hal siatas tersebut, maka
akad tersebut dianggap tidak sah (nasroen haroen, 2000; 97). Adapun pencantuman kalimat berpengaruh pada
objek akad dimaksudkan adalah aterjadinya suatu pemindahan kepemilikan dari
satu pihak ke ihak lain yang ditandai dengan ijab dan qabul tersebut.
Dengan demikian, adanya ijab dan qabul dalam suatu akad
menimbulkan suatu hak dan kewajiban atas masing-masing pihak yang turut serta
di dalamnya (Abdul Manan, 2012; 73).
Kontrak dalam
hokum Islam tidak jauh berbeda dengan yang ada pada hokum perdata umum yang
berlandaskan pada KUHP, hanya saja terdapat beberapa perbedaan yang tidak
signifikan dalam tahapan perjanjian kontrak tersebut. Menurut Gmala Dewi,
perbedaan mendasar mengenai kontrak atau perjanjian yang ada pada hukum Islam
dan hukum perdata ialah pada tahap perjanjian nya (Gemala Dewi, 2005; 47).
Dalam arti, kontrak atau perikatan dalam hukum Islam lembar perjanjian atara
pihak pertama dan pihak kedua dilakukan ssecara terpisah, yang setelah itu
lahirlah suatu konrak perjannjian. Sedangkan daam hokum perdata, untuk
membentuk suatu kontrak perjanjian, lembar perjanjian atara pihak pertama
dengan pihak kedua dilakukan tidak terpisah. Selain daripada itu, perbedaan mendasar lainnya ialah adanya ijab dan qabul yang bersifat
mengikat dan krusial yang harus dilakukan di awal perjanjian dalam hhukum perjanjian Islam.
Dari uraian
diatas dapat ditarik suatu benang merah bahwa dalam hokum perjanjian Islam
unsur yang harus dipenuhi ialah adanya ijab dan qabul yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang melakukan kontrak perjanjian.
Selanjutnnya, dalam kontrak perjanjian Islam, konrak tersebut haruslah sesuai
dengan kaida atauran syariat. Disamping itu, dalam setiap kontrak yang dilakukan
haruslah mempunya akibat hokum atas objek akad tersebut dan harus memberikan
konsekuensi hokum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang mengikat para pihak
di dalamnya.
B. Elemen-elemen
Kontrak
Suatu
kontrak harus memiliki elemen atau rukun yang ada didalam setiap kontrak. Jika
salah satu rukun tidak ada dalam kontrak, maka kontrak tersebut dipandang tidak
sah dalam suatu pandangan hokum Islam. Adapun beberapa rukun atau elemen yang
harus dipenuhi dalam suatu kontrak perjanjian adalah sebagai berikut (Abdul
Manan, 2012; 83):
1. Ijab
dan
Qabul (Shigat Kontrak)
Formulasi ijab
dan qabul suatu kontrak dapat dilaksanakan dengan sebuah ucapan, tulisan
atau isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara berbicara atau menulis.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, ada tiga syarat yang harus di penuhi agar suatu ijab
dan qabul dipandang sah secara hkukum, yakni: pertama, tujuan
yang terkandung di dalam nya harslah jelas, sehingga dapat dipahami isi dan
jenis kontrak yang di kehendaki; kedua, adanya kesesuaian atara ijab dan
qabul; ketiga, tidak adanya keraguan, paksaan, serta tekanan
antara kedua belah pihak dalam melakukan suatu kontrak (Wahbah az-Zuhaili,
1997;104-106).
2. Objek
Akad
Objek perjanjian
merupakan suatu hal yang sangat krusial. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa
suatu objek kontrak harus memenuhi empat syarat yakni, konkret dalam arti harus
ada wujud dan spesifikasi yang jelas; kedua, objek haruslah susuai
dengan ketentuan syariat; ketiga, harus dpat diserahkan ketika sudah
terjadinya kontrak; keempat, objek kontrak hasrus diketahui oleh kedua
belah pihak secara jelas (Abdul Manan, 2013; 85).
3. Pihak-pihak
yang Melaksanakan Kontrak
Pihak-pihak yang
melaksanakan kontrak yang selannjutnya disebut sebagi subjek hukum merupakan
suatu elemen yang harus ada ketika akan melakukan sebuah kontrak atau
perjanjian. Subjek hukum tersebut masing-masing memiliki hak dan kewajibat atas
dirinya. Adapun syarat sseseorang di perbolehkan melakukan suatu kontrak
perjanjian menurut hukum Islam salah satunya ialah cakap hukum, dalam arti
mereka yang memliki akal yang sehat, dewasa (baligh) serta tidak
terganggu kejiwaan nya (Hasballah Thalib, 1992; 9).
4. Tujuan
Kontrak
Dalam hukum Islam,
tujuan suatu kontrak adalah untuk apa suatu kontrak dilakukan dalam rangka
melaksanakan suatu kegiatan muamalah antara manusia , dan yang menentukan
akibat hukum dari suatu kontrak tersebut adalah Allah. Tujuan yang diaksud
disini ialah suatu tujuan demi tercapainya suatu keaslahatan, dan menghindari
kemudharatan (Abdul Manan, 2012; 88).
Berdasarkan
pemaparan diatas, disamping rukun-rukun yang telah disebutkan tadi, suatu
kontrak haruslah memiliki elemen utama,
yakni: bagian pembukaan kontrak, bagian tubuh kontrak, serta bagian penutup
kontrak. Selain elemen-elemen akad, terdapat juga asas-asas yang harus dipenuhi
dalam suatu akad menurut hukum Islam, yakni sebagai berikut:
1. Kebebasan
Pihak-pihak yang
melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, baik
tentang objek perjanjian maupun syarat-syaratnya, termasuk mendapatkan
cara-cara peyelesaian sengketa apabila terjadi di kemudian hari. Kebebasan
menentukan syarat-syarat tersebut dibenarkan dalam kaidah hukum Islam selama hal
tersebut tidak bertentangan dengan kaidah itu sendiri (Abdul Manan, 2012; 75).
2. Persamaan
dan Kesetaraan
Asas ini
memberikan lndasan bahwa kedua belh ppihak yang melakukan kontrak perjanjian
mempunyai kedudukan yang sama atara satu dengan yang lain. Asas ini penting
untuk dilaksanakan para pihak yang terlibat di dalamnya, hal tersebut karena
erat kaitan nya dengan penentuan suatu hak dan kewajiban yag harus dilakukan
oleh kedua belah pihak (Abdul Manan, 2012; 76).
3. Keadilan
Pelaksanaan asas
ini dalam kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan
keadaan, emmenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi segala
hak dan keajiban, tidak saling mendzalimi, dan dilakukan nya secara berimbang
tanpa merugikan pihak lain yang terlibat di dalamnya.
4. Kerelaan
Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang
dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang
membuatnya. (Abdul Manan, 2012; 79).
5. Tertulis
Dalam melakukan
kontrak adalah suatu keharusan untuk melakukan nyasecara tertulis supaya tidak
terjadi permasalahan di kemudian hari. Hal tersebut penting dilakukan agar
kontrak tersebut berada dalam kebakan bagi semua pihak yang melakukannya. Agar
hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka dalam kontrak tersebut harus
tertulis secara rinci apa-apa saja yang dibutuhkan dalam mencapai kemaslahatan
(Abdul Manan, 2012; 81).
C. Jenis-Jenis Kontrak (Akad)
Kontrak (akad) dapat diklasifikasikan sesuai dengan beberapa persfektif.
Para fuqaha secara umum membagi kontrak (akad) ke dalam dua jenis, yaitu
kontrak (akad) yang sah (sahih) dan tidak sah. Kontrak (akad) yang sah adalah
yang memenuhi semua persyaratan, sementara kontrak (akad) yang tidak sah ialah
kontrak (akad) yang didalamnya ada salah satu persyaratan atau lebih yang
dilanggar (Muhammad ayyub, 2009; 183). Berikut akad yang dibagi
menjadi dua (Muhham Azam, 2010; 20):
1.
Kontrak (Akad) Sah
Kontrak (Akad) sah
adalah akad yang telah memenuhi rukun dan elemen-elemen Akad menurut hukum
Islam. Kontrak (akad) dianggap sah
ketika semua elemen kontrak (akad) dapat terpenuhi dan terbebas dari aktivitas
eksternal yang dilarang. Hukum dari kontrak sah ini adalah berlakunya
seluruh akibat hukum yang di timbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak
yang berakad. Ulama Hanafiyah membagi Akad sah menjadi dua macam yaitu (Muhham
Azam, 2010; 20):
a. Akad
Nafiz (sempurna untuk di laksanakan). Akad ini adalah akad yang di langsungkan
dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk
melaksanakannya.
b. Akad
Mawquf. Akad ini adalah akad yang di lakukan seseorang yang cakap bertindak
hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan
akad ini, seperti akad yang di langsungkan oleh anak kecil yang mumayyiz.
2.
Kontrak (Akad)
Tidak Sah
Kontrak atau Akad
yang tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun maupun elemen
elemennya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak
mengikat pihak-pihak yang berakad sehingga dianggap cacat dan dapat dibatalkan.
Akad yang tidak sah dibagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Akad
Bathil. Akad ini adalah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada
larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas atau
terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak
yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
b. Akad
Fasid. Akad ini adalah akad yang pada dasarnya di syariatkan, akan tetapi sifat
yang di akadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang
tidak di tunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan di jual, atau tidak
di sebut brand kendaraan yang di jual, sehingga menimbulkan perselisihan antara
penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa akad bathil dan akad fasid
mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan
hukum apapun.
D. Aturan Umum Kesahihan Kontrak
Menurut Muhammad
Ayub (Muhammad Ayub, 2009; 110) dalam bukunya, menjelaskan ada delapan aturan
umum kontrak dalam validitas mu’amat, yaitu:
1. Persetujuan
bersama yang bebas (Ridha)
Semua transaksi
harus didasarkan pada persetujuan bersama yang bebas dari paksaan oleh kedua
belah pihak, supaya kontrak menjadi sah dan dapat dilaksanakan. Persetujuan
yang dibutuhkan untuk pembentukan suatu kontrak yang sah adalah persetujuan
yang bebas. Persetujuan yang didapat melalui penekanan, penipuan, dan persepsi
yang salah menjadikan suatu kontrak tidak sah sesuai dengan hukum islami.
Kemudian, pihak-pihak yang menyetujui suatu kontrak harus memiliki pengetahuan
tertentu dan jelas mengetahui subjek kontrak serta hak dan kewajiban yang
muncul. Oleh sebab itu, pemeriksaan atas subjek dan dokumentasi yang memadai
dari transaksi, khususnya apabila melibatkan kredit, mendapatkan dukungan dan
penekanan.
2. Larangan
Gharar
Semua kontrak
yang sah harus bebas dari ketidakpastian yang berlebihan (Gharar) mengenai
subjek atau pertimbangan (harga) yang ada dalam pertukaran. Gharar dalam hal
ini diartikan sebagai ketidakpastian mengenai hasil akhir kontrak, yang dapat
mengiring pada perselisihan dan perkara pengadilan. Contoh-contoh transaksi
yang didasarkan pada Gharar adalah penjualan ikan di dalam air, buah-buah di
pohon pada awal musim sebelum kualitasnya dapat terlihat atau penjualan di masa
depan dari produk-produk suatu pabrik yang masih dalam pembangunan yang
produk-produknya tidak didefinisikan atau dispesifikasikan secara jelas.
Dalam sistem
jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara
batil. Padahal, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil. Ibnu
Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah
larangan Allah dalam al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan
batil (Bayu Tri Cahya, 2014; 111).
3. # 3.Menghindari Riba
Riba adalah
kenaikan tanpa adanya pertimbangan yang sesuai dalam suatu pertukaran atas
suatu aset dengan aset lainnya (Bayu Tri Cahya, 2014; 111). Kenaikan tanpa
adanya pertimbangan yang sesuai bisa ada, entah dalam suatu transaksi
pertukaran atau transaksi pinjaman. sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah
ayat 275, yang mengandung arti ”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”.
4. Menghindari
Qimar dan Maisir
Qimar meliputi
setiap bentuk keuntungan atau uang yang perolehannya bergantung sepenuhnya pada
keberuntungan dan peluang. Sedangkan Maisir berarti mendapatkan sesuatu dengan
terlalu mudah atau mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja sama sekali.
Semua kontrak yang melibatkan Qimar dan Maisir dilarang karna tidak sesuai
dengan syariah.
5. Larangan
dua kontrak yang saling bergantung
Dua kontrak yang
tidak konsisten dan saling bergantung telah dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
Hal ini mengacu pada (Bayu Tri Cahya, 2014; 112):
a. Penjualan
dua barang sedemikian supa dimana orang yang ingin membeli suatu barang
diwajibkan membeli barang lain pada harga tertentu.
b. Penjualan
sebuah barang tunggal untuk dua harga sedangkan salah satu harganya belum
ditentukan pada saat pelaksanaan penjualan.
c. Penjualan
yang bergantung
d. Penggambungan
penjualan dan peminjaman dalam satu kontrak.
Untuk
menghindari pelarangan ini, para ahli hukum berpendapat bahwa lebih baik suatu
kontrak penjualan hanya terkait pada satu transaksi, dan kontrak yang mencakup
lebih dari satu transaksi sebaiknya kontrak terpisah berdasarkan masing-masing
transaksi.
6. Kesesuaian
kontrak dengan Maqasid Syariah
Syariah
diarahkan kepada realisasi berbagai tujuan untuk ksejahteraan umat manusia.
Tujuan syariah telah banyak ditekankan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kontrak atau
transaksi apapun yang menghalangi salah satu sasaran tersebut, maka menjadi
tidak sah. Sangat jelas bahwa hak dari sesama umat harus dihargai dari sudut
pandang semua transaksi. Hak-hak Allah SWT dalam syariah juga merujuk pada
semua hal yang melibatkan manfaat masyarakat secara luas. Oleh sebab itu,
kontrak apapun seharusnya tidak
berlawanan dengan manfaat publik secara luas.
7. Keuntungan
dengan kewajiban
Prinsip ini
menyatakan bahwa seseorang berhak mendapat untung apabila ia menanggung risiko
kerugian dalam berbisnis. Ia ada dalam beberapa kontrak, seperti kontrak
penjualan, penyewaan, atau perkongsian. Kelebihan yang timbul dari usaha
tersebut dan yang melewati jumlah pokok yang dibayarkan kepada kreditur oleh
debitur dilarang, karena kreditor tidak menanggung risiko bisnis sedikitpun
berkaitan dengan sejumlah uang yang dipinjamkannya, dalam perjanjian penjualan
dan penyewaan, pihak-pihak harus menanggung risiko yang sesuai dengan kebutuhan
masing-masing kontrak.
8. Diperbolehkan
sebagai peraturan umum
Pada dasarnya
semua yang tidak dilarang itu diperbolehkan. Prinsip diperbolehkan ini
terbentuk dengan catatan bahwa semua perjanjian dan ketentuan yang ada
didalamnya diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
No comments:
Post a Comment