Latar Belakang
Pada saat
ini pemikiran ekonomi Islam dikatakan kurang dikenal oleh kehidupan masyarakat,
hal ini disebabkan kurangnya kajian literatur terkait pemikiran ekonomi Islam.
Sehingga masyarakat lebih mengenal sistem ekonomi konvensional yang telah
digunakan oleh negara maju. Salah satu cara untuk mengenalkan pemikiran ekonomi
Islam adalah dengan memperdalam kajian sejarah pemikiran ekonomi Islam sehingga
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi umat Islam.
Perkembangan
Ekonomi Islam sendiri tidak bisa lepas
dari perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Namun Ilmu ekonomi Islam
dianggap baru muncul pada awal tahun 1970-an. Akan tetapi pemikiran dan
praktiknya sistem ekonomi Islam sesungguhnya telah ada sejak Islam itu
diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah tercatat bahwa para ulama setelah masa Nabi Muhammad memiliki
banyak kontribusi dalam pemikiran Ekonomi Islam.
Banyak
ekonom Muslim lahir di masa dinasti Abbasiyah, dibanding masa sebelumnya Khulafa’
al-Rashidin ataupun di masa dinasti Umayyah. Hal ini menjadi bukti bahwa
lahirnya pemikir Muslim tentang ekonomi tidak lepas dari kenyataan-kenyataan
yang tumbuh di zaman melahirkannya menjadi pemikir yang ahli dibidang-bidang
tertentu.
Dinasti
Umayyah memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan ekonomi Islam.
Dengan keberhasilan ekspansi dari berbagai wilayah Utara, Timur maupun Barat,
dinasti Umayyah berhasil memberikan pemikiran ekonomi yang berbeda, tepatnya
ketika dunia Islam berada dibawah kepemimpinan Khalifah Bani Umayyah.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis
tertarik untuk membahas bagaimana gambaran umum dinasti Umayyah, kondisi
perekonomian serta kebijakan-kebijakan ekonomi seperti apa yang telah
dilahirkan pada masa dinasti Umayyah?.
x
A. Gambaran Umum Dinasti Umayyah
Bani Umayyah dalam bahasa Arab berarti anak
turun Umayyah, yaitu Umayyah bin Abdul Syams. Ia adalah salah satu pemimpin
dalam kabilah Suku Quraisy. Abdul Syams adalah saudara dari Hasyim, sama-sama
keturunan Abdul Manaf. Dari Bani Hasyim inilah lahir Nabi Muhammad. Dimasa
sebelum Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim, dimana kala itu
Bani Umayyah lebih berperan dalam masyarakat Mekkah. Hal ini disebabkan, karena
mereka menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada
pengunjung ka’bah.[1]
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun
yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah. Masa transisi dari Khulafa’
al-Rashidin ke masa Bani Umayyah terjadi perubahan sistem pemerintahan. Dimana
pada masa Khulafa’ al-Rashidin dalam sistem kepemimpinananya masih
menerapkan keteladanan Nabi Muhammad SAW yaitu dalam memilih khalifah dengan
proses musyawarah. Sedangkan pada masa bani Umayyah lahir sebuah sistem
kerajaan yaitu di mana dalam memilih khalifah tidak lagi bersifat demokratis
namun berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun-menurun). Hal
ini dilakukan oleh Muawiyah dengan mencontoh sistem monarchi seperti
yang dilakukan di Persia dan Bizantium.[2] Karena
dalam memilih pemimpin tidak dilakukan secara demokratis melainkan dipilih
dengan cara perebutan kekuasaan sehingga mengakibatkan perubahan prinsip baru
yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. diantaranya
yaitu pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan ditunjuk langsung oleh khalifah
sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang akan menjadi
khalifahnya selanjutnya.
Seperti yang dilakukan oleh Muawiyah yang
mewajibkan rakyatnya untuk setia kepada anaknya yaitu Yazid. Hal ini dilakukan
untuk menghindari terjadinya pergolakan dan konflik politik internal umat Islam
seperti yang terjadi sebelumnya.
Walaupun Muawiyah mengubah sistem
pemerintahan dari musya-warah menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai
gelar Kha-lifah. Namun, ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang diangkat Allah dalam memimpin umat
dengan-mengaitkannya kepada al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah : 30). Atas dasar ini dinasti
menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah,
siapa yang menentangnya adalah kafir (Suyuti Pulungan. J., 1997:167-168)[3].
Dengan kata lain pemerintahan dinasti Bani
Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus di taati semata-mata
karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya,
sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama
Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum
syariat. Dengan demikian, meskipun
pemimpin dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya
memimpin umat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya,
setelah Rasulullah.[4]
Pada masa dinasti Bani Umayyah melanjutkan
ekspansi yang sempat terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Dengan keberhasilan ekspansi dari beberapa daerah yaitu wilayah
Timur maupun Barat membuat kekuasaan wilayah Islam pada masa dinasti Umayyah
semakin meluas. Daerah-daerah tersebut adalah ; Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia
Tengah.
Keberhasilan pada masa dinasti Umayyah ini
memberikan bentuk pemikiran yang berbeda ketika kekuasaan beradah dibawah
kepemimpinan Khalifah dinasti Umayyah
terdapat perubahan fungsi dan kedudukan Baitul Mal. Pada zaman Khulafa’
al-Rashidin kedudukan dan fungsi Baitu Mal adalah sebagai harta Negara yang
digunakan untuk kepentingan atau kesejahteraan rakyat. Namun pada masa dinasti
Umayyah terjadi penyalahgunaan atau pemanfaatan harta baitu mal untuk memenuhi
kepentingan pribadi dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga kerajaan.
Namun pada masa Khalifah Umar bin Abdul
Azis terjadi reformasi, yaitu beliau menerapkan kembali syariat Islam serta
mengubah tatanan yang dianggap melanggar menjadi sesuai dengan syariat Islam. Umar
bin Abdul Azis memiliki kebijakan dengan tujuan untuk melindungi dan meningkatkan
kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.[5]
B. Kondisi Perekonomian Dinasti Umayyah
Masa transisi dari masa Khulafa’ al-Rashidin ke masa dinasti Umayyah
terjadi perubahan sistem pemerintahan yaitu dari sistem demokrasi menjadi monarki,
dari situ awal mula sistem perekonomian mulai berkembang.
Kondisi perekonomian pada dinasti Umayyah terjadi banyak kemajuan. Hal
ini tidak terlepas dari ekspansi wilayah yang ditaklukan pada dinasti Umayyah. Secara
garis besar dipengaruhi dalam beberapa bidang, yaitu bidang perdagangan,
pertanian, Industri, reformasi kebijakan fiskal serta adanya percetakan uang
baru yang dilakukan pada masa dinasti Umayyah.
Perekonomian pada masa dinasti Umayyah bergantung dari pemasukan dari
sektor pertanian yaitu gandum, tebu, padi, kapas dan sebagainya. Selain itu
sumber pendapatan negara pada masa dinasti Umayyah juga diperoleh dari pembayan
Pajak pertanian yang diberlakukan kepada seluruh rakyat. Disisi lain terjadi
perkembangan yang pesat dalam infrastruktur, hal ini terlihat dengan adanya
pembangunan-pembangunan yang dilakukan pada masa dinasti Umayyah dimulai dari
pembangunan masjid-masjid disetiap provinsi serta pembangunan jalan menuju
daerah ke daerah lainnya untuk memudahkan akses lintas perdagangan.
Pada masa khalifah Umar ibn Azis menerapkan kebijakan otonomi daerah.
dimana setiap wilayah memiliki wewenang untuk mengelola zakat dan pajak
sendiri-sendiri dan tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat.
Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada
setiap wilayah Islam yang masih minim pendapatan zakat dan pajaknya.
Dengan demikian, masing-masing wilayah Islam diberi kekuasaan untuk
mengelola kekayaannya. Jika terdapat surplus khalifah Umar menyarankan agar untuk
memberi bantuan kepada wilayah yang masih minim pendapatannya. Sumber-sumber
pendapatannya yaitu sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil
rampasan perang, pajak penghasilan pertanian.[6]
C. Kebijakan Ekonomi Masa Dinasti Umayyah
MasaBani
Umayyah memerintah pada tahun 661M sampai 750M. Pada masa ini memiliki sistem
pemerintahan berbeda sistem pemerintahan pada masa era khulafa’ al-rasyidin
yaitu sistem dinasti. Sistem ini disebut
sebagai dinasti karena sistem pengangkatan pemimpin dilakukan secara turun
temurun. Ide ini pertamakali digagas oleh Mu’awiyah bin Sofyan ketika
mengangkat Yazid bin Muawiyah sebagai penggantinya, sehingga terjadi perubahan
regulasi dalam kepemimpinan dari
khalifah menjadi kerajaan atau dinasti.
Perkembangan
ekonomi pada masa Bani Umayyah sangat pesat setelah beberapa khalifah atau
pemimpin berhasil membangun negara dengan tujuan menciptakan serta meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Kemajuan ekonomi masa bani Umayyah terwujud karena
adanya kebijakan-kebijakan dari para khalifah yang memimpin pada masa Bani
Umayyah, salah satunya kebijakan ekonomi,Beberapa Kebijakan ekonomi pada masa
Bani Umayyah adalah sebagai berikut :
Ø Kebijakan Moneter
Pada
masa khalifah Abdul Malik, beliau mempunyai pemikiran yang serius untuk
menerbitkan mata uang sendiri sebagai alat pertukaran. Hal itu terjadi karena
setelah adanya permintaan dari pihak Romawi yang saat itu mata uang yang
berlaku adalah mata uang Bizatuium dan Persia yang nilainya sama engan logam
emas dan perak pada Dinar dan Dirham. Akhirnya beliau mencetak mata uang Islam
sendiri dan tak segan menjatuhkan ta’zir kepada mereka yang berani mencetak
uang sendiri di luar percetakan negara. Peristiwa ini menjadikan dinar emas dan
dirham perak arab sebagai bagian dari proses Arabisasi[7]
Ø Kebijakan Fiskal
Pada
masa Bani Umayyah kebijakan fiskal ditujukan pada pendapatan negara yang
didapatkan dari pajak sebagai pendapatan negara. Pendapatan Negara pada masa bani
Umayyah dibagi menjadi dua , yaitu
pendapatan pajak bukan pajak dan pendapatan negara dari pajak.
a)
Pendapatan Bukan Pajak
1.
Fai’
Fai’ adalah harta
rampasan perang yang diperoleh dari musuh ketika musuh menyerah tanpa
pertempuran militer yang sebenarnya. Semua rampasan akan masuk ke Negara tanpa
ada yang dibagikan ke prajurit. Namun jika menyerahnya setelah perjanjian atau
kekalahan maka Negara hanya berhak seperlima dari harta rampasan.
2.
Tanah Sawafi
Tanah Sawafi merujuk
pada tanah kepemilikan yang dipindahkan kepada Negara karena beberapa alasan :
-
Pemilik asli tanah
kosong setelah penaklukan Islam.
-
Kematian pemilik tanah
non-muslim dalam perang melawan Islam tanpa meninggalkan ahli waris.
-
Kematian pemilik tanah
Muslim atau non-Muslim tanpa meninggalkan ahli waris
3.
Pendapatan sector
Publik
Pada masa Bani Umayyah
terdapat suatu lembaga khusus yang didalamnya terdapat biro khusus yang disebut
diwan al-mustagghallat yang bertugas menjalankan dan mengawasi sektor bisnis
pemerintahan.
b) Pendapatan
Pajak
1. Seperlima
Ghanimah atau Khums
Aturan khums atas
ghanimah telah diatur dalam al-Quran sebagai pendapatan diletakkan dibawah
keputusan penuh Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara serta cara
menghabiskannya.
2. Zakat
Zakat merupakan sumber
pendapatan yang sangat besar pada masa
dinasti ini. Seiring dengan semakin makmur dan sejahtera besarannya juga
semakin meningkat.
3. Jizyah
Jizyah berupa zakat
yang dikenakan pada non muslim, namun tidak dikenakan pada perempuan dan
anak-anak. Seirung berjalannya waktu jizyah mengalami penurunan karena semakin
banyak yang masuk muslim yang ditengarai hanya menghindari jizyah, sehingga
diberlakukan jizyah pada orang yang baru masuk Islam. Namun, kebijakan ini
dihapus lagi pada mas Umar bin Abdul azis.
4. Kharaj
Kharaj merupakan pajak
yang dikenakan terhadap lahan pertanian yang tersisa ditangan penjaga non
muslim atas penaklukan Islam. Perbedaan dengan tanah Sawafi dengan Kharaj
adalah, kharaj merupakan tanah yang tersisa di tangan pemilik non muslim
aslinya pada saat penaklukan Islam untuk pembayaran Kharaj. Sedangkan Sawafi
adalah tanah yang asli pemilik non muslim yang telah ditinggalkannya tanpa ahli
waris pada saat penaklukan dan sebagai hasilnya tanah itu diletakkan dibawah
administrasi Negara.
5. ‘Usyur
“Usyur adalah bea masuk
yang dibebankan barang-barang yang melintasi perbatasan atau barang yang masuk
dari negara-negara asing. Pada dinasti ini melebar ke pajak baru seperti pajak
pasar, bea materei pada penjualan rumah pada penjual, pajak warisan dan pajak
perikanan[8]
D.
Analisis Kebijakan
Ekonomi Dinasti Umayyah
Kebijakan
Moneter
Kebijakan Moneter pada Dinasti Umayyah di mulai dengan
ekpansi besar-besaran dan meluas sampai ke Benuai Eropa. Penaklukan wilayah yang semakin luas oleh bani ummayah semakinmembuat pemimpin pada
masa bani ummayah berfikir bagaimana semua wilayah itu bertransaksi menggunakan
satu mata uang.
Pada
masa Khalifah Abdul Malik inb Marwan muncul perselisihan di waliayah Romawi
terkait penggunaan mata uang. Romawi meminta khalifah Abdul Malik untuk
menghapus lafad Bismillahirrahmanirrahim pada mata uang Bizantium dan Persia yang
berlaku pada masa itu.
Khalifah
Abul Malik menolak penghapusan lafad Bismillahirrahmanirrahim
pada mata uang yang berlaku saat
itu. Akhirnya beliau mencetak mata uang islam
sendiri
dengan mencantumkan
lafad Bismillahirrahnirrahim. Pada saat itu juga sesungguhnya kita analisis terjadi
kebijakan politik nasionalis yang dilakukan oleh Abul Malik ibn Marwan.
Khalifah
Abdul Malik membuat kebijakan yaitu mencetak mata uang islam sendiri dengan
mencantumkan lafad Bismillah dengan tulisan dan bahasa Arab . Beliau juga tidak
segan memberikan ta’zir atau hukuman kepada merkea yang berani mencetak mata
uang seniri diluar percetakan negara.
Hal
ini menunjukan kemajuan ekonomi islam pada saat itu sangat kuat dengan ditandai
dengan adanya pencetakan mata uang islam diwilayah yang ditaklukan. Selain itu
juga peristiwa itu sebagai awal pelopor kekuatan dan awal kemajuan ekonomi
islam.
Dari Segi Kebijakan Fiskal pada Dinasti Umayyah
pendapatan negara tergantung dari penerimaan pajak. Pajak pada masa Dinasti
Umayyah dibebankan kepada seluruh masyarakat baik muslim maupun non muslim.
Kebijakan
Fiskal pada Dinasti Umayyah terjadi beberapa perubahan
salah satunya yang dibuat oleh khalifah Abdul Malik
dengan memberlakukan kewajiban membayar zakat dan pembebasan pajak untuk kaum muslim. Akan
tetapi, hali ini tidak berlaku untuk kaum non muslim.
Hal
ini mengakibatkan banyak kaum non muslim memeluk agama islam agar terbebas ari
pajak. Namun hal menimbulkan masalah perekonomian baru yaitu: 1)sumber
pendapatan pajak negara berkurang 2) kaum non muslim merupakan kaum yang
mayoritas hidup di wilayah pedesaan
sebagai petani. Hal ini mengakibatkan lahan pertanian mereka tidak produktif.
3)pendapatan pajak dari lahan pertanian yang ditinggalkan kaum non muslim
berkurang 4)banyaknya militer akibat dari urbanisasi kaum non muslim(petani)
mengakibatkan pengeluarkan negara bertambah banyak untuk membayar subsidi
militer.
Kebijakan
yang diambil kembali
oleh khalifah abdul Malik terkait peristiwa tersebut
mengembalikan para kaum non muslim ke tempat asalnya. Tetapi hal ini menimbulkan
banyak protes penolakan lagi dari
kaum non muslim atau Mawali. Akibatnya mereka membuat gerakan propaganda
Abbasiyah untuk menggulingkan DInasti Umayyah. Akhirnya Khalifah Abdul Malik
membuat kebijakan kembali dengan membebankan pajak ke semua kaum baik kaum
muslim maupun non muslim. Pada Khalifah Umar disempurnakan kembali dengan
menghapus pajak bagi kaum muslim dan mengurangi pajak bagi kaum non muslim.
Pada masa umar membawa kebijakan yang berdasarkan konsep kemaslahatan
umat dengan cara merubah kebijakan yaitu Ia mengurangi beban pajak yang
dipungut dari kaum nasrani, menghapus pajak terhadap kaum Muslim, membuat
takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa lainnya. Berbagai
kebijakan berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan
hingga tidak ada lagi yang mau mnerima zakat.
Kebijakan-kebijakan yang berhasil diterapkan pada
Dinasti Umayyah dalam bidang ekonomi, yaitu Kebijakan Moneter. Kebijakan
Moneter pada masa Dinasti Umayyah berhasil memberikan perubahan yang merubah
ekonomi islam lebih kuat dan luas yaitu dengan mencetak mata uang islam
sendiri. Selain itu kebijakan tersebut membuat setiap transaksi atau aktivitas
perekonomian pada wilayah penguasaan Dinasti Umayyah menggunakan mata uang
islam.
Kebijakan fiskal pada masa dinasti Umayyah terjadi
beberapa perubahan dalam penerapannya. Salah satunya yaitu kebijakan fiskal
yang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik dengan menghapuskan pajak bagi
umat muslim, tetapi bagi umat non muslim tetap harus membayar pajak. Hal itu
menimbulkan permasalah tersendiri yaitu banyak kaum non muslim masuk islam,
tetapi lahan pertanian yang ditinggal oleh kaum non muslim tidak produktif dan
pendapatan negara berkurang tetapi pengeluaran bertambah. Akibatnya khalifah
mengambil kebijakan kembali dengan mengembalikan kaum non muslim tersebut ke
wilayah asalnya dan memberikan pajak bagi kaum muslim maupunn non muslim.
Pada masa Khalifah Umar Kebijakan fiskal tersebut
disempurnakan kembali agar sesuai dengan konsep kesejahteraan masyarakat yang
dibawa oleh khalifah Umar. Kebijakan tersebut dengan meniadakan pajak bagi kaum
muslim dan mngurangi sepuluh kali lipat untuk kaum non muslim.
Meskipun masa Dinasti Umayyah menjadi awal kehancuran
islam, namun hal itu terselamatkan dengan adanya kehadiran khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Karena kepemimpinan khalifah sebelumnya tidak sesuai syariat islam,
sehingga terjadi banyak petentangan dan ketidak adilan bagi masyaratk. Hal itu
berbeda dengan prinsip yang dibawa oleh Umar yaitu kemaslahatan umat. Tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa beberapa khalifah dinasti Umayyah memberikan banyak
kontribusi penuh terhadap pembangunan ekonomi dengan melakukan perluasan
wilayah secara besar-besaran, yang mana hal tersebut mempengaruhi tingkat
kesejahteraan umat islam secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment