Monday, October 7, 2019

MAKALAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM DINASTI BANI UMAYYAH


       Latar Belakang
Pada saat ini pemikiran ekonomi Islam dikatakan kurang dikenal oleh kehidupan masyarakat, hal ini disebabkan kurangnya kajian literatur terkait pemikiran ekonomi Islam. Sehingga masyarakat lebih mengenal sistem ekonomi konvensional yang telah digunakan oleh negara maju. Salah satu cara untuk mengenalkan pemikiran ekonomi Islam adalah dengan memperdalam kajian sejarah pemikiran ekonomi Islam sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi umat Islam.
Perkembangan Ekonomi Islam  sendiri tidak bisa lepas dari perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Namun Ilmu ekonomi Islam dianggap baru muncul pada awal tahun 1970-an. Akan tetapi pemikiran dan praktiknya sistem ekonomi Islam sesungguhnya telah ada sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah tercatat bahwa para  ulama setelah masa Nabi Muhammad memiliki banyak kontribusi dalam pemikiran Ekonomi Islam.
Banyak ekonom Muslim lahir di masa dinasti Abbasiyah, dibanding masa sebelumnya Khulafa’ al-Rashidin ataupun di masa dinasti Umayyah. Hal ini menjadi bukti bahwa lahirnya pemikir Muslim tentang ekonomi tidak lepas dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh di zaman melahirkannya menjadi pemikir yang ahli dibidang-bidang tertentu.
Dinasti Umayyah memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan ekonomi Islam. Dengan keberhasilan ekspansi dari berbagai wilayah Utara, Timur maupun Barat, dinasti Umayyah berhasil memberikan pemikiran ekonomi yang berbeda, tepatnya ketika dunia Islam berada dibawah kepemimpinan Khalifah Bani Umayyah.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk membahas bagaimana gambaran umum dinasti Umayyah, kondisi perekonomian serta kebijakan-kebijakan ekonomi seperti apa yang telah dilahirkan pada masa dinasti Umayyah?.




x

A.    Gambaran Umum Dinasti Umayyah
Bani Umayyah dalam bahasa Arab berarti anak turun Umayyah, yaitu Umayyah bin Abdul Syams. Ia adalah salah satu pemimpin dalam kabilah Suku Quraisy. Abdul Syams adalah saudara dari Hasyim, sama-sama keturunan Abdul Manaf. Dari Bani Hasyim inilah lahir Nabi Muhammad. Dimasa sebelum Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim, dimana kala itu Bani Umayyah lebih berperan dalam masyarakat Mekkah. Hal ini disebabkan, karena mereka menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada pengunjung ka’bah.[1]
Khilafah Bani Umayyah berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah. Masa transisi dari Khulafa’ al-Rashidin ke masa Bani Umayyah terjadi perubahan sistem pemerintahan. Dimana pada masa Khulafa’ al-Rashidin dalam sistem kepemimpinananya masih menerapkan keteladanan Nabi Muhammad SAW yaitu dalam memilih khalifah dengan proses musyawarah. Sedangkan pada masa bani Umayyah lahir sebuah sistem kerajaan yaitu di mana dalam memilih khalifah tidak lagi bersifat demokratis namun berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun-menurun). Hal ini dilakukan oleh Muawiyah dengan mencontoh sistem monarchi seperti yang dilakukan di Persia dan Bizantium.[2] Karena dalam memilih pemimpin tidak dilakukan secara demokratis melainkan dipilih dengan cara perebutan kekuasaan sehingga mengakibatkan perubahan prinsip baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. diantaranya yaitu pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang akan menjadi khalifahnya selanjutnya.
Seperti yang dilakukan oleh Muawiyah yang mewajibkan rakyatnya untuk setia kepada anaknya yaitu Yazid. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pergolakan dan konflik politik internal umat Islam seperti yang terjadi sebelumnya.
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musya-warah menjadi monarki, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Kha-lifah. Namun, ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam  memimpin umat dengan-mengaitkannya kepada al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah : 30). Atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Suyuti Pulungan. J., 1997:167-168)[3].
Dengan kata lain pemerintahan dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus di taati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat.  Dengan demikian, meskipun pemimpin dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin umat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.[4]

Pada masa dinasti Bani Umayyah melanjutkan ekspansi yang sempat terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dengan keberhasilan ekspansi dari beberapa daerah yaitu wilayah Timur maupun Barat membuat kekuasaan wilayah Islam pada masa dinasti Umayyah semakin meluas. Daerah-daerah tersebut adalah ; Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Keberhasilan pada masa dinasti Umayyah ini memberikan bentuk pemikiran yang berbeda ketika kekuasaan beradah dibawah kepemimpinan Khalifah  dinasti Umayyah terdapat perubahan fungsi dan kedudukan Baitul Mal. Pada zaman Khulafa’ al-Rashidin kedudukan dan fungsi Baitu Mal adalah sebagai harta Negara yang digunakan untuk kepentingan atau kesejahteraan rakyat. Namun pada masa dinasti Umayyah terjadi penyalahgunaan atau pemanfaatan harta baitu mal untuk memenuhi kepentingan pribadi dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga kerajaan.
Namun pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis terjadi reformasi, yaitu beliau menerapkan kembali syariat Islam serta mengubah tatanan yang dianggap melanggar menjadi sesuai dengan syariat Islam. Umar bin Abdul Azis memiliki kebijakan dengan tujuan untuk melindungi dan meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.[5]

B.     Kondisi Perekonomian Dinasti Umayyah
Masa transisi dari masa Khulafa’ al-Rashidin ke masa dinasti Umayyah terjadi perubahan sistem pemerintahan yaitu dari sistem demokrasi menjadi monarki, dari situ awal mula sistem perekonomian mulai berkembang.
Kondisi perekonomian pada dinasti Umayyah terjadi banyak kemajuan. Hal ini tidak terlepas dari ekspansi wilayah yang ditaklukan pada dinasti Umayyah. Secara garis besar dipengaruhi dalam beberapa bidang, yaitu bidang perdagangan, pertanian, Industri, reformasi kebijakan fiskal serta adanya percetakan uang baru yang dilakukan pada masa dinasti Umayyah.
Perekonomian pada masa dinasti Umayyah bergantung dari pemasukan dari sektor pertanian yaitu gandum, tebu, padi, kapas dan sebagainya. Selain itu sumber pendapatan negara pada masa dinasti Umayyah juga diperoleh dari pembayan Pajak pertanian yang diberlakukan kepada seluruh rakyat. Disisi lain terjadi perkembangan yang pesat dalam infrastruktur, hal ini terlihat dengan adanya pembangunan-pembangunan yang dilakukan pada masa dinasti Umayyah dimulai dari pembangunan masjid-masjid disetiap provinsi serta pembangunan jalan menuju daerah ke daerah lainnya untuk memudahkan akses lintas perdagangan.
Pada masa khalifah Umar ibn Azis menerapkan kebijakan otonomi daerah. dimana setiap wilayah memiliki wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak diharuskan menyerahkan upeti kepada pemerintah pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah Islam yang masih minim pendapatan zakat dan pajaknya.
Dengan demikian, masing-masing wilayah Islam diberi kekuasaan untuk mengelola kekayaannya. Jika terdapat surplus khalifah Umar menyarankan agar untuk memberi bantuan kepada wilayah yang masih minim pendapatannya. Sumber-sumber pendapatannya yaitu sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil rampasan perang, pajak penghasilan pertanian.[6]

C.     Kebijakan Ekonomi Masa Dinasti Umayyah
MasaBani Umayyah memerintah pada tahun 661M sampai 750M. Pada masa ini memiliki sistem pemerintahan berbeda sistem pemerintahan pada masa era khulafa’ al-rasyidin yaitu sistem dinasti.  Sistem ini disebut sebagai dinasti karena sistem pengangkatan pemimpin dilakukan secara turun temurun. Ide ini pertamakali digagas oleh Mu’awiyah bin Sofyan ketika mengangkat Yazid bin Muawiyah sebagai penggantinya, sehingga terjadi perubahan regulasi dalam kepemimpinan  dari khalifah menjadi kerajaan atau dinasti.
Perkembangan ekonomi pada masa Bani Umayyah sangat pesat setelah beberapa khalifah atau pemimpin berhasil membangun negara dengan tujuan menciptakan serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kemajuan ekonomi masa bani Umayyah terwujud karena adanya kebijakan-kebijakan dari para khalifah yang memimpin pada masa Bani Umayyah, salah satunya kebijakan ekonomi,Beberapa Kebijakan ekonomi pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut :
Ø  Kebijakan Moneter
Pada masa khalifah Abdul Malik, beliau mempunyai pemikiran yang serius untuk menerbitkan mata uang sendiri sebagai alat pertukaran. Hal itu terjadi karena setelah adanya permintaan dari pihak Romawi yang saat itu mata uang yang berlaku adalah mata uang Bizatuium dan Persia yang nilainya sama engan logam emas dan perak pada Dinar dan Dirham. Akhirnya beliau mencetak mata uang Islam sendiri dan tak segan menjatuhkan ta’zir kepada mereka yang berani mencetak uang sendiri di luar percetakan negara. Peristiwa ini menjadikan dinar emas dan dirham perak arab sebagai bagian dari proses Arabisasi[7]
Ø  Kebijakan Fiskal
Pada masa Bani Umayyah kebijakan fiskal ditujukan pada pendapatan negara yang didapatkan dari pajak sebagai pendapatan negara. Pendapatan Negara pada masa bani Umayyah  dibagi menjadi dua , yaitu pendapatan pajak bukan pajak dan pendapatan negara dari pajak.
a)      Pendapatan Bukan Pajak
1.      Fai’
Fai’ adalah harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh ketika musuh menyerah tanpa pertempuran militer yang sebenarnya. Semua rampasan akan masuk ke Negara tanpa ada yang dibagikan ke prajurit. Namun jika menyerahnya setelah perjanjian atau kekalahan maka Negara hanya berhak seperlima dari harta rampasan.
2.      Tanah Sawafi
Tanah Sawafi merujuk pada tanah kepemilikan yang dipindahkan kepada Negara karena beberapa alasan :
-          Pemilik asli tanah kosong setelah penaklukan Islam.
-          Kematian pemilik tanah non-muslim dalam perang melawan Islam tanpa meninggalkan ahli waris.
-          Kematian pemilik tanah Muslim atau non-Muslim tanpa meninggalkan ahli waris
3.      Pendapatan sector Publik
Pada masa Bani Umayyah terdapat suatu lembaga khusus yang didalamnya terdapat biro khusus yang disebut diwan al-mustagghallat yang bertugas menjalankan dan mengawasi sektor bisnis pemerintahan.
b)      Pendapatan Pajak
1.      Seperlima Ghanimah atau Khums
Aturan khums atas ghanimah telah diatur dalam al-Quran sebagai pendapatan diletakkan dibawah keputusan penuh Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara serta cara menghabiskannya.
2.      Zakat
Zakat merupakan sumber pendapatan yang sangat besar pada masa  dinasti ini. Seiring dengan semakin makmur dan sejahtera besarannya juga semakin meningkat.
3.      Jizyah
Jizyah berupa zakat yang dikenakan pada non muslim, namun tidak dikenakan pada perempuan dan anak-anak. Seirung berjalannya waktu jizyah mengalami penurunan karena semakin banyak yang masuk muslim yang ditengarai hanya menghindari jizyah, sehingga diberlakukan jizyah pada orang yang baru masuk Islam. Namun, kebijakan ini dihapus lagi pada mas Umar bin Abdul azis.
4.      Kharaj
Kharaj merupakan pajak yang dikenakan terhadap lahan pertanian yang tersisa ditangan penjaga non muslim atas penaklukan Islam. Perbedaan dengan tanah Sawafi dengan Kharaj adalah, kharaj merupakan tanah yang tersisa di tangan pemilik non muslim aslinya pada saat penaklukan Islam untuk pembayaran Kharaj. Sedangkan Sawafi adalah tanah yang asli pemilik non muslim yang telah ditinggalkannya tanpa ahli waris pada saat penaklukan dan sebagai hasilnya tanah itu diletakkan dibawah administrasi Negara.
5.      ‘Usyur
“Usyur adalah bea masuk yang dibebankan barang-barang yang melintasi perbatasan atau barang yang masuk dari negara-negara asing. Pada dinasti ini melebar ke pajak baru seperti pajak pasar, bea materei pada penjualan rumah pada penjual, pajak warisan dan pajak perikanan[8]
D.    Analisis Kebijakan Ekonomi Dinasti Umayyah
Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter pada Dinasti Umayyah di mulai dengan ekpansi besar-besaran dan meluas sampai ke Benuai Eropa. Penaklukan wilayah yang semakin luas oleh  bani ummayah semakinmembuat pemimpin pada masa bani ummayah berfikir bagaimana semua wilayah itu bertransaksi menggunakan satu mata uang.
Pada masa Khalifah Abdul Malik inb Marwan muncul perselisihan di waliayah Romawi terkait penggunaan mata uang. Romawi meminta khalifah Abdul Malik untuk menghapus lafad Bismillahirrahmanirrahim  pada mata uang Bizantium dan Persia yang berlaku pada masa itu.
Khalifah Abul Malik menolak penghapusan lafad Bismillahirrahmanirrahim pada mata uang  yang berlaku saat itu. Akhirnya beliau mencetak mata uang islam sendiri dengan mencantumkan lafad Bismillahirrahnirrahim. Pada saat itu juga sesungguhnya kita analisis terjadi kebijakan politik nasionalis yang dilakukan oleh Abul Malik ibn Marwan.
Khalifah Abdul Malik membuat kebijakan yaitu mencetak mata uang islam sendiri dengan mencantumkan lafad Bismillah dengan tulisan dan bahasa Arab . Beliau juga tidak segan memberikan ta’zir atau hukuman kepada merkea yang berani mencetak mata uang seniri diluar percetakan negara.
Hal ini menunjukan kemajuan ekonomi islam pada saat itu sangat kuat dengan ditandai dengan adanya pencetakan mata uang islam diwilayah yang ditaklukan. Selain itu juga peristiwa itu sebagai awal pelopor kekuatan dan awal kemajuan ekonomi islam.
Dari Segi Kebijakan Fiskal pada Dinasti Umayyah pendapatan negara tergantung dari penerimaan pajak. Pajak pada masa Dinasti Umayyah dibebankan kepada seluruh masyarakat baik muslim maupun non muslim.
Kebijakan Fiskal pada Dinasti Umayyah terjadi beberapa perubahan salah satunya yang dibuat oleh khalifah Abdul Malik dengan memberlakukan kewajiban membayar zakat dan  pembebasan pajak untuk kaum muslim. Akan tetapi, hali ini tidak berlaku untuk kaum non muslim.
Hal ini mengakibatkan banyak kaum non muslim memeluk agama islam agar terbebas ari pajak. Namun hal menimbulkan masalah perekonomian baru yaitu: 1)sumber pendapatan pajak negara berkurang 2) kaum non muslim merupakan kaum yang mayoritas hidup di wilayah pedesaan  sebagai petani. Hal ini mengakibatkan lahan pertanian mereka tidak produktif. 3)pendapatan pajak dari lahan pertanian yang ditinggalkan kaum non muslim berkurang 4)banyaknya militer akibat dari urbanisasi kaum non muslim(petani) mengakibatkan pengeluarkan negara bertambah banyak untuk membayar subsidi militer.
Kebijakan yang diambil kembali oleh khalifah abdul Malik terkait peristiwa tersebut mengembalikan para kaum non muslim ke tempat asalnya. Tetapi hal ini menimbulkan banyak protes penolakan lagi dari kaum non muslim atau Mawali. Akibatnya mereka membuat gerakan propaganda Abbasiyah untuk menggulingkan DInasti Umayyah. Akhirnya Khalifah Abdul Malik membuat kebijakan kembali dengan membebankan pajak ke semua kaum baik kaum muslim maupun non muslim. Pada Khalifah Umar disempurnakan kembali dengan menghapus pajak bagi kaum muslim dan mengurangi pajak bagi kaum non muslim.
Pada masa umar membawa kebijakan yang berdasarkan konsep kemaslahatan umat dengan cara merubah kebijakan yaitu Ia mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum nasrani, menghapus pajak terhadap kaum Muslim, membuat takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa lainnya. Berbagai kebijakan berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang mau mnerima zakat.

 KESIMPULAN
Kebijakan-kebijakan yang berhasil diterapkan pada Dinasti Umayyah dalam bidang ekonomi, yaitu Kebijakan Moneter. Kebijakan Moneter pada masa Dinasti Umayyah berhasil memberikan perubahan yang merubah ekonomi islam lebih kuat dan luas yaitu dengan mencetak mata uang islam sendiri. Selain itu kebijakan tersebut membuat setiap transaksi atau aktivitas perekonomian pada wilayah penguasaan Dinasti Umayyah menggunakan mata uang islam.
Kebijakan fiskal pada masa dinasti Umayyah terjadi beberapa perubahan dalam penerapannya. Salah satunya yaitu kebijakan fiskal yang dilakukan pada masa khalifah Abdul Malik dengan menghapuskan pajak bagi umat muslim, tetapi bagi umat non muslim tetap harus membayar pajak. Hal itu menimbulkan permasalah tersendiri yaitu banyak kaum non muslim masuk islam, tetapi lahan pertanian yang ditinggal oleh kaum non muslim tidak produktif dan pendapatan negara berkurang tetapi pengeluaran bertambah. Akibatnya khalifah mengambil kebijakan kembali dengan mengembalikan kaum non muslim tersebut ke wilayah asalnya dan memberikan pajak bagi kaum muslim  maupunn non muslim.
Pada masa Khalifah Umar Kebijakan fiskal tersebut disempurnakan kembali agar sesuai dengan konsep kesejahteraan masyarakat yang dibawa oleh khalifah Umar. Kebijakan tersebut dengan meniadakan pajak bagi kaum muslim dan mngurangi sepuluh kali lipat untuk kaum non muslim.
Meskipun masa Dinasti Umayyah menjadi awal kehancuran islam, namun hal itu terselamatkan dengan adanya kehadiran khalifah Umar bin Abdul Aziz. Karena kepemimpinan khalifah sebelumnya tidak sesuai syariat islam, sehingga terjadi banyak petentangan dan ketidak adilan bagi masyaratk. Hal itu berbeda dengan prinsip yang dibawa oleh Umar yaitu kemaslahatan umat. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa khalifah dinasti Umayyah memberikan banyak kontribusi penuh terhadap pembangunan ekonomi dengan melakukan perluasan wilayah secara besar-besaran, yang mana hal tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan umat islam secara keseluruhan.




[1] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 105
[2] Nur Chamid, hlm.106
[3] Jurnal Pusaka, Vol. 3, No. 1, 2015, hlm.114
[4] Jurna Pusaka, hlm.114
[5] Nur chamid, hlm 113
[6] Nur Chamid, hlm 114
[7] Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 44
[8]  Nur Chamid, “Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.hlm. 67

No comments:

Post a Comment