BAB
I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Ilmu ekonomi merupakan suatu studi ilmiah
yang membahas tentang bagaimana individu dan kelompok masyarakat dalam menentukan
pilihan. Pernyataan ini sejalan dengan pembenaran bahwa manusia mempunyai keinginan,
maka untuk memuaskan berbagai kebutuhan manusia, dapatlah digunakan sumber daya
yang tersedia, tetapi sumber daya ini tidak tersedia dengan bebas, karena sumber
daya yang ada langka dan mempunyai berbagai kegunaan alternatif. Pilihan kegunaan
dapat terjadi antara penggunaan sumberdaya sekarang dan sumber daya masa depan,
selain itu akan menimbulkan biaya dan manfaat. Dengan demikian diperlukan adanya pertimbangan efesiensi dalam penggunaan
sumberdaya. Pembelajaran mengenai cara manusia dalam memanfaatkan, mengelola
dan menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya juga menjadi bagian dari ilmu ekonomi
Salah satu kegiatan ekonomi adalah mengenai
konsumsi atau pemenuhan terhadap kebutuhan manusia sebagai penggunaan barang-barang
dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Konsumsi adalah
kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa yang meliputi barang
tahan lama dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya yaitu
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan penyempurna. Penggunaan suatu
barang dan jasa yang telah diproduksi, sebagai konsumen, sebagai unit
pengkonsumsi dan peminta yang utama dalam teori ekonomi. Unit yang mengkonsumsi
dapat berupa pembelian suatu barang dan jasa yang dilakukan oleh individu,
kelompok maupun pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Sejak awal manusia selalu
dituntut untuk bekerja guna memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
yang bersifat rutin maupun insidentil, seperti makan, minum, pakaian,
perumahan, kendaraan, bahan bakar, pendidikan, pengobatan dan lain-lain
(sandang, pangan dan papan).
Dari pemenuhan kebutuhan manusia baik
dari untility (nilaiguna) barang dan jasa yang saat ini sangat dibutuhkan memanfaatkan
(mengkonsumsi) suatu barang ataujasa yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Bedasarkan latar belakang tersebut ini bertujuan untuk mengetetahui konsumsi
dalam presepektif islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
teori konsumsi dalam Islam?
2.
Bagaimana Faktor-faktor Utama yang
Mempengaruhi Pembelian dalam
mengonsumsi barang atau jasa?
3.
Bagaimana Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam
Islam?
4.
Bagaimana Mengukur Kepuasan Konsumen
Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori konsumsi dalam Islam
a.
Pengertian Konsumsi
Dalam teori ekonomi dikatakan bahwa
manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya
dan selalu bertindak rasional. Para konsumen akan berusaha memaksimalkan
kepuasannya selama kemampuan finansialnya memungkinkan. Mereka memiliki
pengetahuan tentang alternative produk yang dapat memuaskan kebutuhan mereka.
Kepuasan menjadi hal yang teramat penting dan seakan menjadi hal utama untuk
dipenuhi.
Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua
penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.[1]
Konsumsi juga diartikan sebagai perilaku ekonomi yang asasi dalam kehidupan
manusia. setiap makhluk pasti melakukan aktivitas konsumsi termasuk manusia.
pengertian konsumsi dalam ilmu ekonomi tidak sama dengan istilah konsumsi dalam
kehidupan sehari-hari yang diartikan dengan peilaku makan dan minum. Dalam ilmu
ekonomi, konsumsi merupakan setiap perilaku seseorang untuk menggunakan dan
memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi perilaku
konsumen tidak hanya menyangkut perilaku makan dan minum saja, tetapi juga
perilaku ekonomi lainnya seperti membeli dan memakai baju, membeli dan memakai
kendaraan, membeli dan memakai sepatu dan sebagainya.[2]
Berdasarkan teori Keynes, bahwa konsumsi
saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposible saat ini. Dimana
pendapatan disposible adalah pendapatan yang tersisa setelah pembayaran pajak.
Jika pendapatan disposable tinggi maka konsumsi juga naik. Hanya saja
peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposible.
Selanjutanya menurut Keynes, dia mengatakan bahwa pengeluaran seseorang untuk
konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin besar pendapatan
seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan tingkat
tabungannya akan semakin bertambag dan sebaliknya apabila tingkat pendapatan
seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatannya digunakan untuk konsumsi
sehingga tingkat tabungannya nol. Dalam pemikiran Keynes pendapatn suatau
Negara dapat dirumuskan sebagai berikut:
·
Ditinjau dari segi perorangan: Y=
C + S
·
Ditinjau dari segi perusahaan: Y=
C + I
·
Ditinjau dari segi pemerintah: Y=
C + I + G + (X-M)
Dimana : Y adalah Pendapatan (Income), C
adalah Konsumsi, S adalah Tabungan, I adalah Investasi, G adalah Pengeluaran Pemerintah, X adalah Ekspor, dan M adalah Impor.
Konsumsi perorangan atau rumah tangga
memiliki tiga ciri-ciri berikut: 1) pendapatan, 2) pada saat pendpatan 0 (nol)
atau rumah tangga tidak bekerja ia akan tetap melakukan konsumsi atau
distribusi pengeluaran otonom (pengeluaran yang tergantung pendapatan
nasional), 3) apabila berlaku pertambahan pendapatan akan berlaku pertambahan
konsumsi. Dari ketiga ciri-ciri konsumsi rumah tangga tersebut dapat dinyatakan
sebagai berikut:
C
= a+ bY
Dimana C adalah konsumsi, a
adalah konsumsi rumah tangga secara nasional pada saat pendapatan nasional nol,
b adalah kecondongan konsumsi
marginal (MPC), dan Y adalah
pendapatan Nasional.
Dalam pemenuhan konsumsi ada batas
konsumsi minimal yang tidak tergantung pada tingkt pendapatan yang disebut
konsumsi otonom. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat
pendapan sama dengan nol, dan hal ini ditentukan oleh faktor di luar
pendapatan, seperti ekspektasi ekonomi dari konsumen, ketersediaan dan
syarat-syarat kredit, standar hidup yang diharapkan, distribusi umum dan lokasi
geografis.[3]
b.
Pengertian Konsumsi Dalam Islam
Islam
mengajarkan pola konsumsi yang berorientasikan akhirat demi meratanya
kesejahteraan manusia. Membelanjakan harta untuk membantu perekonomian
masyarakat miskin merupakan keharusan. Konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam
dapat digambarkan sebagai berikut[4]
a.
Konsep syahwat/rughbah vs. Hajah (want
vs. Need)
b.
Kebutuhan perspektif maqashid al-syari‟ah
c.
Konsumsi (dlaruriyat) + saving+
Investasi (dunia dan akhirat
a.
Zakat
b.
Infaq
c.
Sedekah
d.
Wakaf
1.
Memerhatikan Income dan Expenditure
a.
Aspek kualitas dan kuantitas dalam income
b.
Aspek kualitas dan kuantitas dalam expenditure
2.
Memerangi
a.
Israf
dan
tabzir
(berlebih-lebihan)
b.
Bakhil
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa konsumsi dalam ekonomi Islam
mengandung empat unsur, yaitu:
1.
Konsep Islam tentang kebutuhan
Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh Mashlahah. Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat
dipisahkan dari kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka Maqashid Al-Syari’ah. Dimana tujuan
syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam Islam. Imam
Al-Ghazali telah membedakan anatara keinginan (raghbah dan syahwiat) dan
kebutuhan (hajah). Menurut
Al-Ghazali, kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang
diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan
fungsinya. Lebih jauh lagi
Al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi, sehingga tidak
kosong dari makna ibadah. Konsumsi dilakukan dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional, yang tidak
memisahkan antara keinginan (wants)
dan kebutuhan (needs), sehingga
memicu terjebaknya konsumen dalam lingkaran konsumerisme. Karena manusia banyak
yang memaksakan keinginan mereka, seiring dengan beragamnya varian produk dan jasa.Memenuhi
kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan yaitu tujuan dari aktifitas ekonomi Islam, dan usaha untuk
pencapaian tujuan tersebut merupakan
salah satu kewajiban dalam agama. Siddiqi menyatakan, bahwa tujuan aktifitas
ekonomi yang sempurna menurut Islam antara lain:[5]
a. Memenuhi
kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
b. Memenuhi
kebutuhan keluarga
c. Memenuhi
kebutuhan jangka panjang
d. Memenuhi
kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
e. Memberikan
bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah.
Beberapa pandangan tersebut mempunyai tujuan yaitu
untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat
Adapun beberapa sifat maslahah antara lain:
a.
Mashlahah
bersifat
subjektif, dalam arti setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam
menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi
dirinya. Kriteria maslahah ini ditetapkan oleh syari’ah dan sifatnya mengikat
bagi semua individu.
b.
Mashlahah
orang
perorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda
dengan konsep Pareto Optimum, yaitu
keadaan optimal dimana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
Dalam
konteks ini, konsep mashlahah sangat
tepat untuk diterapkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang mencakup kebutuhan
dlaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Masing-masing tujuan yang ingin dicapai oleh Islam yaitu penjagaan terhadap
lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Dengancara
memenuhi kebutuhan kelima hal diatas yang apabila tidak tercukupi akan
membawakerusakan bagi kehidupan manusia.Semua
barang atau jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi lima elemen pokok
termasuk dalam kategori dlaruriyat.
Berbagai macam barang dan jasa tersebut dapat dikatakan memiliki mashlahah bagi umat manusia. Semua
kebutuhan tersebut tidak sama penting, kebutuhan tersebut meliputi tiga
tingkatan, yaitu:[6]
a. Tingkat
dimana lima elemen pokok diatas dilindungi dengan baik.
b. Tingkat
dimana perlindungan lima elemen pokok diatas dilengkapi untuk memperkuat keberadaanya.
c. Tingkat
dimana lima elemen pokok diatas secara sederhana diperoleh secara lebih baik.
2. Mashlahah
dan Utilitas
Kebutuhan
(need) merupakan konsep yang lebih
bernilai dari sekedar keinginan (want).
Want ditetapkan berdasarkan konsep utulity, tetapi need didasarkan atas konsep mashlahah,
tujuan syari’ah adalah mensejahterakan manusia (mashlahah al „ibad), karenanya semua barang dan jasa yang
memberikan mashlahah disebut
kebutuhan manusia. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai
tujuan untuk memperoleh kepuasan (utility)
dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara
bahasa berarti berguna (usefulness),
membantu (helpfulness), atau
menguntungkan (advantage). Dalam
konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan
seorang konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa juga
dirasakan sebagai rasa tertolong dari suatu kesulitan karena mengkonsumsi
barang tersebut. Dikarenakan rasa inilah, maka seringkali utilitas dimaknai
juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam
mengkonsumsi suatu barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun
sebenarnya kepuasan merupakan akibat yang ditimbulkan oleh utilitas. [7]
Dalam
Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan.
Pencapaian mashlahah tersebut
merupakan tujuan dari maqhasid
al-syariah. Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada
pemenuhan kepuasan atau wants, dan
konsep mashlahah relatif lebih
objektif kerena bertolak pada pemenuhan kebutuhan atau needs. Mashlahah dipenuhi
berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada kriteria yang
objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah ataupun tidak. Adapun utility
ditentukan lebih subjektif karena akan berbeda antara satu orang dengan
yang lainnya.
Berikut
ini kerangka secara garis besar mengenai kapan konsumen akan mendapatkan mashlahah dan berkah. Demikian pula
kemungkinan lahirnya madharat karena
adanya kegiatan konsumsi terhadap hal yang sia-sia atau tidak memberikan
manfaat maupun hal yang diharamkan.
Ada
beberapa perbedaan antara mashlahah dan
utilitas seperti yang diungkapkan oleh Joko Subagyo, antara lain:
a. Mashlahah individual
akan relatif konsisten dengan mashlahah sosial,
sebaliknya utilitas individu mungkin saja bersebrangan dengan utilitas sosial.
Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang relatif objektif, sehingga lebih
mudah diperbandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara satu orang dengan yang
lainnya, antara individu dan sosial.
b. Jika
mashlahah dijadikan tujuan bagi
pelaku ekonomi (produsen, distributor dan konsumen) maka arah pembangunan
menuju ke titik yang sama. Maka hal ini akan meningkatkan efektifitas tujuan
utama pembangunan, yaitu kesejahteraan hidup. Konsep ini berbeda dengan
utilitas, dimana konsumen bertujuan memenuhi want-nya, adapun produsen dan distributor memenuhi kelangsungan dan
keuntungan maksimal. Dengan demikian ada perbedaan arah dalam tujuan aktifitas
ekonomi yang ingin dicapai.
c. Mashlahah merupakan
konsep pemikiran yang terukur (accountability)
dan dapat diperbandingkan (comparable),
sehingga lebih mudah dibuatkan prioritas dan pertahapan pemenuhannya. Hal ini
akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran dan pemenuhan ekonomi secara
keseluruhan. Sebaliknya akan tidak mudah mengukur tingkat utilitas dan
membandingkan antara satu orang dengan yang lainnya, meskipun dalam
mengkonsumsi barang ekonomi yang sama dalam kualitas dan kuantitasnya.[8]
3.
Final Spending dan konsumsi untuk akhirat
Final spending adalah
konsumsi dan infak seorang muslim, yaitu konsumsi yang berorientasikan duniawi
untuk menjaga berbagai macam kebutuhan dlaruriyat.
Lebih jauh lagi maksud dari konsumsi itu sendiri adalah penjagaan dalam
eksistensi agama (al-din), kehidupan
(al-nafs), akal (al-aql), keturunan (al-nasl),
dan juga harta benda (al-mal). Kelima
hal ini dikenal dengan suatu konsep
tentang al-khulliyat al-khamsah.
Adapun infak merupakan representasi dari kebutuhan seseorang yang berorientasi
kepada akhirat, untuk menjaga al-khulliyat
al khamsah orang lain yang berpendapatan rendah demi terciptanya keadilan
dan kesejahteraan. Selain itu, infak juga merupakan tabungan pahala disisi
Allah, yang ketika frekuensi kegiatannya naik maka akan menaikkan keberkahan
dalam harta seseorang.[9]
a. Pemenuhan
The Basic Need (Dlaruriyat). Dalam konsep
maqhashid al-syari‟ah, pemenuhan kebutuhan seseorang haruslah
mengutamakan the basic need terlebih
dahulu. Jika the basic need tidak
terpenuhi, maka akan membawa kerusakan pada seseorang, karena the basic need termasuk bagian dlaruriyat yang harus senantiasa dijaga.
Setelah the basic need terpenuhi, seseorang baru bisa
memenuhi kebutuhan hajuyat, dan kemudian tahsiniyat.
Pemenuhan
the basic need bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan terhadap manusia. Allah
pernah melukiskan kesejahteraan surgawi dalam peringatan Allah kepada Adam,
yang tertera dalam QS. Thaha: 117-119.32
Artinya ; “Maka Kami
berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi
isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari
surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.(118). Sesungguhnya kamu tidak akan
kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang,(119). dan Sesungguhnya kamu
tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di
dalamnya".
Dari ayat ini jelas, bahwa pangan,sandang, dan papan
yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di surga.
Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama bagi kesejahteraan
manusia. Untuk saat ini, kita dapat berkata bahwa kesejahteraan yaitu ketika
terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit,
kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan.
Pemenuhan the
basic need tersebut tetap harus dalam kapasitas yang seimbang (al-tawazun), tidak boleh
berlebih-lebihan (al-israf), dan juga
bakhil (al-bukhl). Karena ajaran-ajaran
Islam mengutamakan keseimbangan dan memerangi segala hal yang berlawanan dengan
hal diatas. Ketika seseorang memperoleh income
dengan cara yang dan halal dan sah, kemudian membelanjakannya untuk
memenuhi the basic need, maka hal
tersebut sesuai dengan maqashid
al-syari‟ah apabila didalam pembelanjaannya berbeda dalam skala al-tawazun dan diniatkan untuk beribadah
kepada Allah.
b. Konsumsi
Berorientasikan Akhirat
Islam mengajarkan pola konsumsi yang berorientasikan
akhirat akhirat demi meratanya kesejahteraan manusia. Membelanjakan harta untuk
membantu perekonomian masyarakat miskin merupakan suatu keharusan. Karena di
dalam ajaran Islam, satu orang Muslim dengan yang lainnya diibaratkan seperti
satu badan, ketika salah satu anggota tubuhnya merasakan sakit, maka, semua
anggota tubuh yang lainnya juga akan sakit.
Islam mengajarkan bahwa membelanjakan harta tidak
boleh melampaui batas. Misalnya menafkahkan harta untuk orang banyak dalam
jumlah yang lebih besar dibanding nafkah pribadinya. Aturan ini ditetapkan agar
ia dan keluarganya dapat hidup serba cukup dan tidak mengemis kepada orang
lain.
4. Konsumerisme danTawazun
a. Memerhatikan
Income dan Expenditure
Menurut Ibn Sina, ada
dua hal penting yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu income (pencarian rezeki/kasab) dan expenditure (pengeluaran). Ketika seseorang menginginkan
keberkahan, maka ia harus memulai untuk meraih keberkahan tersebut jauh sebelum
konsumsi dilakukan. ia harus bekerja dengan cara yang baik, karena Islam
mempertimbangkan proses pencarian rizeki harus dilalui dengan proses yang halal
dan sah. Sebelum akhirnya dibelanjakan untuk suatu barang atau jasa, dengan
cara yang baik pula.[10]
Income dan
expenditure haruslah diatur oleh
suatu anggaran dengan perhitungan yang cermat. Perolehan income sudah diatur dengan jelas dalam Islam, sehingga nantinya
berimplikasi pada label halal ataupun haram dalam income tersebut. Adapun expenditure,
Ibn Sina mengklasifikannya menjadi pengeluaran wajib dan tidak wajib.
Pengeluaran wajib terkait dengan nafkah sehari-hari dan amal kebijakan untuk
orang lain. Adapun yang termasuk
pengeluaran tidak wajib adalah simpanan karena menurut Ibn Sina manusia harus
berpikir cerdas untuk perubahan peristiwa yang akan dilaluinya dimasa
mendatang. Jadi, seseorang haruslah melakukan saving dan investasi untuk masa depannya. Untuk pengeluaran wajib
(nafkah) yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin. Dan untuk amal kebajikan,
Ibn Sina menegaskan bahwa lebih baik dikeluarkan langsung dalam jumlah yang
besar untuk pemberdayaan si miskin agar bisa berdiri sendiri.
Bukan dalam bentuk bantuan rutin yang diberikan sedikit demi sedikit,
yang berakibat semakin melemahnya motivasi si miskin dalam mencari rezeki. Ibn
Sina menerangkan lebih lanjut bahwa bantuan yang bersifat rutin akan bersifat
bahaya karena tidak dapat memberdayakan si miskin, sehingga ketika bantuan itu
diberhentikan dapat menimbulkan kesan yang tidak menyenangkan.[11]
b.
Memerangi Israf (berlebih-lebihan)
Agama Islam memberikan petunjuk
dalam hal mengkonsumsi, maka harus dipilih makanan yang halal dan baik, dan
dari rezeki yang halal juga. Konsumsi dalam Islam juga telah diatur. Jumlah
yang dikonsumsi oleh seorang manusia tidak boleh kikir, tidak boleh berlebihan,
boros, dan semata-mata hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Ancaman Allah sangat
nyata terhadap terhadap konsumsi yang berlebihan. Tindakan konsumsi yang
berlebihan dibenci Allah, karena perbuatan itu perilaku setan.[12]
M. Abdul Mannan mempunyai
pandangan lebih luas mengenai “sikap tidak berlebih-lebihan” dalam hal konsumsi
yang dituntun oleh perilaku para konsumen Muslim yang mengutamakan kepentingan
orang lain. Pada hakikatnya konsumsi adalah suatu pengertian yangpositif.
Larangan-larangan dan perintah-perintah mengenai makanan dan minuman harus
dilihat sebagai bagian usaha untuk meningkatkan sifat perilaku konsumsi. Dengan
mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku mengutamakan
kepentingan orang lain yaitu pihak konsumen. Dikatakan berlebihan jika dalam
pemenuhan kebutuhan kebutuhan sehari- hari di luar batas kewajaran. Yaitu
berlebih-lebihan dalam hal makanan, berpakaian, membangun rumah, dan pemenuhan
hiburan. Jadi, jika seseorang membelanjakan uangnya untuk kebutuhan hidupnya
secara layak, maka ia tidak termasuk orang-orang yang boros. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, konsumerisme dipahami sebagai paham atau gaya hidup yang
menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan.
Konsumerisme juga diartikan sebagai gaya hidup yang tidak hemat.
Dalam
sabda Rasulullah SAW salah satunya yaitu tentang hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living),
yang bermakna bahwa tindakan konsumsi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan
kebutuhan hidup (needs) bukan
pemuasan keinginan (wants) sangat
dianjurkan dalam Islam. Sikap sederhana dalam mengkonsumsi terlihat pada
larangan Nabi minum dari gelas yang terbuat dari emas ataupun perak. Dua barang
ini termasuk barang mewah yang tidak sepantasnya jika digunakan untuk keprluan
hidup sehari-hari karena menunjukkan kesan kesombongan. Rasulullah bersabda:
“dari Ummu Salamah, ia berkata:
Rasulullah saw bersabda “barang siapa minum dari tempat yang terbuat dari emas
atau perak, maka sesungguhnya ia memasukkan api neraka jahannam ke dalam perutnya”.
(HR.Muslim)
Kemudian
yang dimaksud batasan konsumsi dalam Syariah adalah pelarangan Israf atau
berlebih-lebihan. Perilaku Israf diharamkan sekalipun komoditi yang
dibelanjakan adalah halal. Namun demikian Islam tetap membolehkan seorang
Muslim untuk menikmati karunia kehidupan selama itu masih dalam batas
kewajaran.[13]
B. Faktor-faktor Utama yang
Mempengaruhi Pembelian
Faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan membeli adalah berbeda-beda untuk masing-masing
pembeli, disamping produk yang dibeli dan saat pembeliannya berbeda. Faktor-faktor
tersebut adalah:[14]
a.
Faktor Budaya
Faktor-faktor budaya mempunyai pengaruh yang paling luas dan mendalam
terhadap perilaku konsumen.
1) Kultur
(kebudayaan) adalah determinan yang paling fundamental dari keinginan dan perilaku
seseorang. Anak memperoleh serangkaian nilai (values), persepsi, preferensi, dan perilaku melalui keluarganya dan
institusi-institusi utama lainnya. Seorang anak yang dibesarkan di Asia
mendapat nilai- nilai berikut: hubungan keluarga dan pribadi, kepatuhan,
kepercayaan (trust), respek pada
orang-orang yang lebih tua, dan kesalehan.
2) Subkultur,
setiap kultur terdiri dari sub-kultur yang lebih kecil yang memberikan
identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik bagi para anggotanya.
Subkultur mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan daerah geografis.
Banyak subkultur membentuk segmenpasar yang penting, dan para pemasar kerapkali
merancang produk dan program pemasaran yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
3) Kelas
sosial adalah devisi atau kelompok yang relatif homogen dan tetap dalam suatu
masyarakat, yang tersususn secara hierarkis dan anggota-anggotanya memiliki
nilai, minat, dan perilaku yang mirip.[15]
b.
Faktor Sosial
Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status soaial.
1) Kelompok
Acuan, seseorang terdiri dari semua kelompok yang mempunyai pengaruh langsung
(tatap muka) atau pengaruh tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang.
2) Keluarga,
anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Keluarga
merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat,
dan telah diteliti secara ekstensif.
3) Peran
dan Status, posisi orang tersebut dalam setiap kelompok dapat ditentukan
berdasarkan peran dan stataus. Suatu peran terdiri atas kegiatan-kegiatan yang
diharapkan dilakukan oleh seseorang. Setiap peran membawa suatu status.15
c.
Faktor Pribadi
Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi,
yaitu usia pembeli dan tahap siklus hidup, pekerjaan, kondisi ekonomi, dan gaya
hidup.
1)
Usia dan Tahap Siklus Hidup, orang
membeli barang dan jasa yang berbeda sepanjang hidupnya. Mereka makan makanan
bayi pada masa balita, makan hampir semua jenis makanan pada masa pertumbuhan
dan dewasa, dan makan makanan diet khusus pada masa tua. Selera orang akan
pakaian, perabot mebel, dan rekreasi juga berhubungan dengan usia.
2)
Pekerjaan, pekerjaan seseorang juga
memepengaruhi pola konsumsinya. Para pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok
pekerjaan yang mempunyai minat lebih rata-rata pada produk dan jasa mereka.
3)
Kondisi Ekonomi, pilihan produk sangat
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seseorang. Kondisi ekonomi meliputi pendapatan
yang bisa dibelanjakan (tingkat pendapatan, stabilitas, dan pola waktunya),
tabungan dan kekayaan (termasuk presentase yang likuid), utang, kemampuan untuk
meminjam, dan sikap terhadap belanja versus menabung.
4)
Gaya Hidup, orang-orang yang berasal
dari subkultur, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama mungkin saja mempunyai
gaya hidup yang berbeda.[16]
d.Faktor Psikologis
Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi pula oleh empat faktor psikologis
utama – motivasi, persepsi, serta keyakinan dan sikap.
1)
Motivasi, seseorang memiliki banyak
kebutuhan pada setiap waktu tertentu. Suatu kebutuhan menjadi motif bila telah
mencapai tingkat intensitas
yang memadai. Motif (atau dorongan) adalah kebutuhan yang cukup
untuk mendorong seseorang agar bertindak. Pemuasan kebutuhan tersebut akan
mengurangi rasa ketegangan. Ahli psikologis telah mengembangkan berbagai teori
tentang motivasi manusia. Terdapat tiga teori yang paling terkenal – teori
Sigmund Freud, Abraham maslow, dan Frederick Herzberg – yang memiliki implikasi
yang cukup berbeda terdapat analisis konsumen dan strategi pemasaran.Teori Motivasi Freud. Freud
mengkonsumsi bahwa kekuatan psikologis riil yang membentuk perilaku orang
sebagian besar bersifat dibawah sadar. Freud menganggap bahwa orang menahan
banyak keinginan dalam proses pertumbuhan dan menerima aturan-aturan sosial.
Keinginan-keinginan ini tidak pernah dapat dieliminasi atau dikendalikan dengan
sempurna, keinginan ini muncul dalam mimpi, dalam kehilafan ucapan (slips of the tongue), dalam perilaku
neurotik.
2)
Persepsi, seseorang yang termotivasi
akan siap bertindak. Bagaimana orang yang termotivasi tersebut akan benar-benar
bertindak dipengaruhi persepsinya mengenai situasi tertentu. Orang bisa memiliki persepsi yang berbeda terhadap
objek yang sama karena adanya tiga proses perseptual: perhatian selektif (selective atlention), distorsi selektif
(selective distortions), dan ingatan
selektif (selective retention).
3)
Keyakinan dan Sikap, melalui bertindak
dan belajar, orang- orang memperoleh keyakinan dan sikap. Kedua faktor ini
kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Keyakinan adalah pikiran
deskriptif yang dianut seseorang mengenai suatu hal. Sikap menjelaskan evaluasi
kognitif, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan seseorang yang suka
atau tidak suka terhadap objek atau ide tertentu.[17]
C. Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam Islam
Islam menjelaskan tentang beberapa
prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang Muslim yang membedakan dengan prilaku
konsumsi non Muslim (Konvensional). Prinsip tersebut didasarkan pada ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammada saw. Prinsip-prinsip tersebut sebagai
berikut:[18]
1.Prinsip
Syariah
a) Memperhatikan
tujuan konsumsi
Prilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya
mencapai kepuasan dari konsumsi barang, melainkan fungsi ibadah dalam rangka
mendapat ridha Allah swt hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah
al-An’am ayat 162
Artinya: “katakanlah
sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam”
b) Memperhatikan
kaidah ilmiah
Dalam berkonsumsi seorang muslim harus memperhatikan
prinsip kebersihan. Prinsip kebersihan mngandung arti barang yang dikonsumsi
harus bebas dari kotoran maupun penyakit. Demikian juga harus menyehatkan dan
memiliki manfaat dan tidak mempunyai kemudharatan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 172:
Artinya : “Hai
orang-orang beriman, maknlah di antara rizki yang baik-baik yang kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya menyembah.”
c) Memperhatikan
bentuk konsumsi
Fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip
konvensional yang bertujuan kepuasan maksimum (mximum utility), terlepas ada
keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakikatnya teori konvensional tidak
mengenal Tuhan. Dari segi bentuk konsumsi,seorang muslim harus memperhatikan
apapun yang dikonsumsinya. Hal ini berhuungan dengan adanya batasan-batasan
orang muslim dalam mengonsumsi suatu barng dan jasa. Seorang muslim misalnya
dilarang mengonsumsi dabing babi, bangkai, darah, minuman yang keras dan lain
sebagainya. Hal ini sesua dengan Firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat
173
Artinya: “sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun
lagi Maha penyayang.”
2.
Prinsip kuantitas
Tidak cukup bila
barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitasnya harus juga dalam
batasan-batasan Syariah, yang dalam kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:[19]
a. Sederhana
Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang
terpuji dalam kondisi yang wajar adalah sederhana. Artinya bahwa di tengah-tengah
abtara boros dan pelit. Dimana kesedrahaan ini merupakan salah satu sifat hamba
Allah yang maha pengasih, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Furqan ayat 67
Sesungguhnya Umar ra memuji sederhana
dalam konsumsi dan mengacam melampauinya sampai tingkat boros atau turun
darinya sampai tingkat pelit. Beliau berkata “hendaklah kamu sederhana dalam
makanmu. Sebab sederhana lebih dekat kepada perbaikan dan lebih jauh dari
pemborosan.”[20]
b. Kesesuaian antara konsumsi dan
pemasukan
kesesuaian
antara pemasukan dan konsumsi adalah hal yang sesuai dengan fitrah manusi dan
realita. Karena itu salah satu aksioma ekonomi adalah bahwa pemasukan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen individu. Dimana
permintaan menjadi bertambah jika pemasukan bertambah, dan permintaas menjadi
berkurang jika pemasukan menurun, disertai tetapnya faktor-fakotr yang lain.
Kesesuain antara konsumen dan pemasukan tersebut memiliki dalil-dalil yang
jelas dalam perekonomia Islam, diantaranya Firman Allah dalam surah Thalaq ayat
7
c. Penyimpanan dan pengembangan
Menyimpan (menabung) merupakan suatu
keharusan untuk merealisasikan pengmbangan (investasi). Sebab salah satu hal
yang telah dimaklumi, bahwa hubungan antara penyimpanan dan konsumsi adalah
kenalikan. Setiap salah satu dari keduanya bertambah, maka berkuranglah yang
lain. Karena itu memperluas konsumsi akan berdamak pada penurunan penyimpanan,
sehingga berkuranglah modal investasi dengan tingkat penurunan simpanan. Dan
demikian ini adalah yang menghambat upaya investasi. Karena ini sistem ekonomi
seluruhnya berupaya membatasi konsumsi sebagai Menyimpan (menabung) merupakan
suatu keharusan untuk merealisasikan pengmbangan (investasi). Sebab salah satu
hal yang telah dimaklumi, bahwa hubungan antara penyimpanan dan konsumsi adalah
kenalikan. Setiap salah satu dari keduanya bertambah, maka berkuranglah yang
lain. Karena itu memperluas konsumsi akan berdamak pada penurunan penyimpanan,
sehingga berkuranglah modal investasi dengan tingkat penurunan simpanan. Dan
demikian ini adalah yang menghambat upaya investasi. Karena ini sistem ekonomi
seluruhnya berupaya membatasi konsumsi sebagai cara permodalan investasi dan
pembentukan modal.[21]
3.
Prinsip Prioritas Konsumsi
Jenis barang konsumsi dapat dibedakan dalam tiga
tingkatan, sebagai berikut:
a) Primer, artinya
sesuatu yang harus terpenuhi untuk
menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, yang tanpa dengannya
kondisi tidak akan stabil, dan seseorang tidak akan aman dari kebinasaan.
b) Sekunder, yaitu
sesuatu yang menjadi tuntutan kebutuhan, yang tanpa dengannya akan terjadi
kesempitan, namun tidak sampai pada tingkatan primer.
c) Tersier, yaitu
sesuatu yang tidak sampai pada tingkatan kebutuhan primer dan bukan pula
kebutuhan sekunder, namun hanya sebatas pelengkap dan hiasan.[22]
4.
Prinsip Moralitas
Yang dimaksud
dengan prinsip ini adalah mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh
dalamkuantitas dan kualitas konsumsi, dimana yang terpenting diantaranya dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Umat, sesungguhnya
saling berkaitan dan saling sepenanggungan merupakan slah satu ciri dasar umat
Islam, baik individu maupun kelompok. Salah satu konsekuensi keimanan tersebut
adalah bahwa konsumen muslim memperlihatkan kondisi umatnya, sehingga dia
tidak memperluas kualitas dan kuantitas
konsumsi pribadinya, sementara kaum muslim terytama tetangganya tidak
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan primer mereka.
b. keteladanan, Umar ra
selalu melakukan pengawasan perilaku konsumsi terhadap para individu yang
menjadi panutan umat agar tidak menyelewengkan pola konsumsi mereka, sehingga
terjadi penyelewengan dalam umat karena mengikuti mereka, dan beliau melarang
orang-orang yang menjadi teladan tersebut terhadap apa yang tidak beliau larang
terhadap selain mereka.
c. Tidak membahayakan
orang lain, setiap muslim menjauhi perilaku konsumtif yang mendatangkan
mudharat terhadap orang lain, baik secara langsung maupun tidak, terlebih jika
bermudharat bagi orang lain.
Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk
kemanjuan material yang pasti sebagai suatu kondisi yang sangat diperlukan bagi
evolusi pola sosial yang diharapkan.[23]
D. Mengukur Kepuasan Konsumen Islam
Kepuasan
adalah hasrat yang tidak bisa diukur dengan nilai, masing-masing orang memiliki
cita rasa yang berbeda namun jika diinginkan terpenuhi maka akan menghasilkan
sebuah kepuasan tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tidak
membeatasi konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsmsi sebagai wujud
kebersinambungan antara sang makhluk (hablum minan nas) dan antara Tuhan
(Hablum minallah). Dalam perilakau konsumen Muslim bila digambarkan secara
grafis dengan mengunakan alat analisis kurva indeferensi terhadap perilaku
konsumen muslimperlu dilakukan suatu modifikasi dimana batasan yang membatasi
konsumsi seorang konsumen muslim bukanlah hanya garis anggaran semata namun
juga adanya batasan Syariah. Sehingga batasan seorang konsumen Muslim secara
grafis dibatasi oleh garis anggaran dan Syariah (budget and syariah line (BSL)).
Pada garis anggaran dan Syariah ini secara posisi, letaknya berada lebih rendah
dibandingkan pada garis anggaran. Karena adanya batasan dalam Syariat Islam,
seperti larangan untuk mengkonsumsi barang yang haram, larangan riba, larangan
untuk konsumsi yang berlebihan dankewajiban berzakat. Secara grafis hal ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Selanjutnya tingkat kepuasan konsumen
Muslim optimum dapat tercapai pada
persinggungan antara kurva indiferensi dengan garis anggaran dan Syariah.
Gambar 2. Titik optimum kepuasan
Muslim
Berdasarkan Gambar 2 di atas tingkat
kepuasan yang konsumen Muslim paling Optimum adalah pada titik Q* yaitu pada
kurva indeferensi U2 karena
pada titik inilah terjadi persinggungan antara kurva indeferensi dengan garis
anggaran dan Syariah. Pada kurva U1 tingkat kepuasan konsumen belum
optimum karena adanya pendapatan yang tidak dipergunakan untuk konsumsi,
sehingga tingkat kepuasan konsumen yang optimal belum tercapai. Sementara pada
kurva U3, meskipun kurva indeferensi lebih besar dibandingkan pada
kurva U2 dan terjadi persinggungan dengan garis anggaran, namun
tingkat kepuasan konsumen Muslim tidak optimum karena adanya batasan Syariah
yang belum dipenuhi, seperti belum dikeluarkannya zakat dari pendapatan yang
diterima atau adanya barang-barang yang tidak boleh dikonsumsi, hal ini
menyebabkan kurva U3 tidak optimum bagi seorang konsumen Muslim.[24]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsumsi
dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga
mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah swt. Untuk mendapatkan
kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi
maka prilaku konsumen terutama muslim selalu dan harus di dasarkan pada syariah
Islam. Konsumsi dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan
untuk memperoleh kepuasan (Utility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Dengan
kata lain sepanjang masyarakat memiliki pendapatan, maka tidak ada yang bisa menghalanginya
untuk mengkonsumsi barang yang diinginkan tanpa mempertimbangkan kepentingan
orang lain atau mempertimbangkan aspek lain seperti kehalalan.Teori konsumsi dari
kedua pandangan tersebut selalu berbeda, baik ekonomi konvensional maupun ekonomi
Islam setuju bahwa masyarakat dalam berkonsumsi adalah semata-mata untuk mempertahankan
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
James.
Micheal. Pembangunan Ekonomi Di Dunia
Ketiga. Jakarta: Ghalia, 2001.
Yuliadi,
Imammudin. Ekonomi Islam; Sebuah
Pengantar. Yogyakarta, Lembaga Pengkajian Dan Pengamalan Islam (Lppi) 2012.
Rahardja,
Pratama ,Mandala Manurung, Pengantar Ilmu
Ekonomi (Mikro Ekonomi Dan Makroekonomi). Jakarta: Feui, 2004.
Yunia
Fauzia, Ika, Abdul Kadir Riyadi, Prinsip
Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al- Syariah. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
Swasta,
Basu Irawan, Manajemen Pemasaran Modern.
Yogyakarta: Liberty Offset. 2003.
Hakim,
Lukman. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam.
Jakarta, Erlangga, 2012.
Bin
Ahmad Al-Haritsi, Jaribah. Fikih Ekonomi
Umar Bin Al-Khattab. Jakarta: Khalifa. 2006.
A
Karim, Adiwarman . Ekonomi Mikro Islam.
Jakarta: Iiit-Indonesia, 2002.
[1] Micheal James, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga,
(Jakarta: Ghalia, 2001), Hlm.49.
[2] Imammudin Yuliadi, Ekonomi Islam; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta,
Lembaga Pengkajian Dan Pengamalan Islam (Lppi) 2012), Hlm.17.
[3] Pratama Rahardja, Mandala
Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi
Dan Makroekonomi), (Jakarta: Feui, 2004), Hlm. 41.
[4] Ika Yunia Fauzia Dan Abdul Kadir
Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Perspektif Maqashid Al- Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2014), Hlm. 176
[5] Ibid, Hlm. 162-163.
[6] Ibid, Hlm 164-165
[7] Ibid, Hlm 165.
[8] Ibid, Hlm 167.
[9] Ibid, Hlm. 174.
[10] Ibid. Hlm. 169-170
[11] Ibid, Hlm 170-171
[12] Ibid, Hlm 61
[13] Ibid, Hlm 15.
[14]
Basu Swasta Dan Irawan, Manajemen
Pemasaran Modern, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2003), Hlm.105.
[15] Ibid, Hlm 116
[16] Ibid, Hlm 118-119
[17] Ibid, Hlm 122
[18] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta,
Erlangga, 2012), Hlm. 94.
[19]
Ibid, hlm 93-95
[20] Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi,
Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khattab, (Jakarta, Khalifa, 2006), Hlm.145.
[21] Ibid, Hlm 151.
[22] Ibid, Hlm. 154.
[23] Ibid, hlm 153
[24] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta:
Iiit-Indonesia, 2002), Hlm.87.
No comments:
Post a Comment