Thursday, October 17, 2019

Teori Konsumsi Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Ilmu ekonomi merupakan suatu studi ilmiah yang membahas tentang bagaimana individu dan kelompok masyarakat dalam menentukan pilihan. Pernyataan ini sejalan dengan pembenaran bahwa manusia mempunyai keinginan, maka untuk memuaskan berbagai kebutuhan manusia, dapatlah digunakan sumber daya yang tersedia, tetapi sumber daya ini tidak tersedia dengan bebas, karena sumber daya yang ada langka dan mempunyai berbagai kegunaan alternatif. Pilihan kegunaan dapat terjadi antara penggunaan sumberdaya sekarang dan sumber daya masa depan, selain itu akan menimbulkan biaya dan manfaat. Dengan demikian diperlukan  adanya pertimbangan efesiensi dalam penggunaan sumberdaya. Pembelajaran mengenai cara manusia dalam memanfaatkan, mengelola dan menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya juga menjadi bagian dari ilmu ekonomi
Salah satu kegiatan ekonomi adalah mengenai konsumsi atau pemenuhan terhadap kebutuhan manusia sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa yang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan penyempurna. Penggunaan suatu barang dan jasa yang telah diproduksi, sebagai konsumen, sebagai unit pengkonsumsi dan peminta yang utama dalam teori ekonomi. Unit yang mengkonsumsi dapat berupa pembelian suatu barang dan jasa yang dilakukan oleh individu, kelompok   maupun pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Sejak awal manusia selalu dituntut untuk bekerja guna memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang bersifat rutin maupun insidentil, seperti makan, minum, pakaian, perumahan, kendaraan, bahan bakar, pendidikan, pengobatan dan lain-lain (sandang, pangan dan papan).
Dari pemenuhan kebutuhan manusia baik dari untility (nilaiguna) barang dan jasa yang saat ini sangat dibutuhkan memanfaatkan (mengkonsumsi) suatu barang ataujasa yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Bedasarkan latar belakang tersebut ini bertujuan untuk mengetetahui konsumsi dalam presepektif islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori konsumsi dalam Islam?
2.      Bagaimana Faktor-faktor Utama yang Mempengaruhi Pembelian dalam mengonsumsi barang atau jasa?
3.      Bagaimana Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam Islam?
4.      Bagaimana Mengukur Kepuasan Konsumen Islam?





BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori konsumsi dalam Islam
a.    Pengertian  Konsumsi
        Dalam teori ekonomi dikatakan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya dan selalu bertindak rasional. Para konsumen akan berusaha memaksimalkan kepuasannya selama kemampuan finansialnya memungkinkan. Mereka memiliki pengetahuan tentang alternative produk yang dapat memuaskan kebutuhan mereka. Kepuasan menjadi hal yang teramat penting dan seakan menjadi hal utama untuk dipenuhi.
        Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[1] Konsumsi juga diartikan sebagai perilaku ekonomi yang asasi dalam kehidupan manusia. setiap makhluk pasti melakukan aktivitas konsumsi termasuk manusia. pengertian konsumsi dalam ilmu ekonomi tidak sama dengan istilah konsumsi dalam kehidupan sehari-hari yang diartikan dengan peilaku makan dan minum. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi merupakan setiap perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi perilaku konsumen tidak hanya menyangkut perilaku makan dan minum saja, tetapi juga perilaku ekonomi lainnya seperti membeli dan memakai baju, membeli dan memakai kendaraan, membeli dan memakai sepatu dan sebagainya.[2]
        Berdasarkan teori Keynes, bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposible saat ini. Dimana pendapatan disposible adalah pendapatan yang tersisa setelah pembayaran pajak. Jika pendapatan disposable tinggi maka konsumsi juga naik. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposible. Selanjutanya menurut Keynes, dia mengatakan bahwa pengeluaran seseorang untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan tingkat tabungannya akan semakin bertambag dan sebaliknya apabila tingkat pendapatan seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatannya digunakan untuk konsumsi sehingga tingkat tabungannya nol. Dalam pemikiran Keynes pendapatn suatau Negara dapat dirumuskan sebagai berikut:
·         Ditinjau dari segi perorangan:        Y= C + S
·         Ditinjau dari segi perusahaan:        Y= C + I
·         Ditinjau dari segi pemerintah:        Y= C + I + G + (X-M)
Dimana : Y adalah Pendapatan (Income), C adalah Konsumsi, S adalah Tabungan, I adalah Investasi, G adalah Pengeluaran Pemerintah, X adalah Ekspor, dan M adalah Impor.
Konsumsi perorangan atau rumah tangga memiliki tiga ciri-ciri berikut: 1) pendapatan, 2) pada saat pendpatan 0 (nol) atau rumah tangga tidak bekerja ia akan tetap melakukan konsumsi atau distribusi pengeluaran otonom (pengeluaran yang tergantung pendapatan nasional), 3) apabila berlaku pertambahan pendapatan akan berlaku pertambahan konsumsi. Dari ketiga ciri-ciri konsumsi rumah tangga tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
C = a+ bY
Dimana C adalah konsumsi, a adalah konsumsi rumah tangga secara nasional pada saat pendapatan nasional nol, b adalah kecondongan konsumsi marginal (MPC), dan Y adalah pendapatan Nasional.
Dalam pemenuhan konsumsi ada batas konsumsi minimal yang tidak tergantung pada tingkt pendapatan yang disebut konsumsi otonom. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat pendapan sama dengan nol, dan hal ini ditentukan oleh faktor di luar pendapatan, seperti ekspektasi ekonomi dari konsumen, ketersediaan dan syarat-syarat kredit, standar hidup yang diharapkan, distribusi umum dan lokasi geografis.[3]
b.   Pengertian Konsumsi Dalam Islam
Islam mengajarkan pola konsumsi yang berorientasikan akhirat demi meratanya kesejahteraan manusia. Membelanjakan harta untuk membantu perekonomian masyarakat miskin merupakan keharusan. Konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam dapat digambarkan sebagai berikut[4]
a.        Konsep syahwat/rughbah vs. Hajah (want vs. Need)
b.        Kebutuhan perspektif maqashid al-syari‟ah
c.        Konsumsi (dlaruriyat) + saving+ Investasi (dunia dan akhirat                                              

a.        Zakat
b.        Infaq
c.        Sedekah
d.        Wakaf
1.        Memerhatikan Income dan Expenditure
a.        Aspek kualitas dan kuantitas dalam income
b.        Aspek kualitas dan kuantitas dalam expenditure
2.        Memerangi
a.        Israf dan tabzir (berlebih-lebihan)
b.        Bakhil

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa konsumsi dalam ekonomi Islam mengandung empat unsur, yaitu:

1.   Konsep Islam tentang kebutuhan

Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh Mashlahah. Pembahasan konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka Maqashid Al-Syari’ah. Dimana tujuan syari’ah harus dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam Islam. Imam Al-Ghazali telah membedakan anatara keinginan (raghbah dan syahwiat) dan kebutuhan (hajah). Menurut Al-Ghazali, kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Lebih jauh lagi Al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi, sehingga tidak kosong dari makna ibadah. Konsumsi dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional, yang tidak memisahkan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), sehingga memicu terjebaknya konsumen dalam lingkaran konsumerisme. Karena manusia banyak yang memaksakan keinginan mereka, seiring dengan beragamnya varian produk dan jasa.Memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan yaitu tujuan dari aktifitas ekonomi Islam, dan usaha untuk pencapaian tujuan  tersebut merupakan salah satu kewajiban dalam agama. Siddiqi menyatakan, bahwa tujuan aktifitas ekonomi yang sempurna menurut Islam antara lain:[5]
a.       Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
b.       Memenuhi kebutuhan keluarga
c.       Memenuhi kebutuhan jangka panjang
d.      Memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
e.       Memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah.
Beberapa pandangan tersebut mempunyai tujuan yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat
Adapun beberapa sifat maslahah antara lain:
a.    Mashlahah bersifat subjektif, dalam arti setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Kriteria maslahah ini ditetapkan oleh syari’ah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
b.   Mashlahah orang perorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal dimana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

Dalam konteks ini, konsep mashlahah sangat tepat untuk diterapkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia yang mencakup kebutuhan dlaruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Masing-masing tujuan yang ingin dicapai oleh Islam yaitu penjagaan terhadap lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Dengancara memenuhi kebutuhan kelima hal diatas yang apabila tidak tercukupi akan membawakerusakan bagi kehidupan manusia.Semua barang atau jasa yang memiliki kekuatan untuk memenuhi lima elemen pokok termasuk dalam kategori dlaruriyat. Berbagai macam barang dan jasa tersebut dapat dikatakan memiliki mashlahah bagi umat manusia. Semua kebutuhan tersebut tidak sama penting, kebutuhan tersebut meliputi tiga tingkatan, yaitu:[6]
a.       Tingkat dimana lima elemen pokok diatas dilindungi dengan baik.
b.       Tingkat dimana perlindungan lima elemen pokok diatas dilengkapi untuk memperkuat keberadaanya.
c.       Tingkat dimana lima elemen pokok diatas secara sederhana diperoleh secara lebih baik.
2.   Mashlahah dan Utilitas
Kebutuhan (need) merupakan konsep yang lebih bernilai dari sekedar keinginan (want). Want ditetapkan berdasarkan konsep utulity, tetapi need didasarkan atas konsep mashlahah, tujuan syari’ah adalah mensejahterakan manusia (mashlahah al „ibad), karenanya semua barang dan jasa yang memberikan mashlahah disebut kebutuhan manusia. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai tujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness), membantu (helpfulness), atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan seorang konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai rasa tertolong dari suatu kesulitan karena mengkonsumsi barang tersebut. Dikarenakan rasa inilah, maka seringkali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan merupakan akibat yang ditimbulkan oleh utilitas. [7]
Dalam Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan kemaslahatan. Pencapaian mashlahah tersebut merupakan tujuan dari maqhasid al-syariah. Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada pemenuhan kepuasan atau wants, dan konsep mashlahah relatif lebih objektif kerena bertolak pada pemenuhan kebutuhan atau needs. Mashlahah dipenuhi berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada kriteria yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah ataupun tidak. Adapun utility ditentukan lebih subjektif karena akan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
Berikut ini kerangka secara garis besar mengenai kapan konsumen akan mendapatkan mashlahah dan berkah. Demikian pula kemungkinan lahirnya madharat karena adanya kegiatan konsumsi terhadap hal yang sia-sia atau tidak memberikan manfaat maupun hal yang diharamkan.
Ada beberapa perbedaan antara mashlahah dan utilitas seperti yang diungkapkan oleh Joko Subagyo, antara lain:
a.       Mashlahah individual akan relatif konsisten dengan mashlahah sosial, sebaliknya utilitas individu mungkin saja bersebrangan dengan utilitas sosial. Hal ini terjadi karena dasar penentuannya yang relatif objektif, sehingga lebih mudah diperbandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara satu orang dengan yang lainnya, antara individu dan sosial.
b.       Jika mashlahah dijadikan tujuan bagi pelaku ekonomi (produsen, distributor dan konsumen) maka arah pembangunan menuju ke titik yang sama. Maka hal ini akan meningkatkan efektifitas tujuan utama pembangunan, yaitu kesejahteraan hidup. Konsep ini berbeda dengan utilitas, dimana konsumen bertujuan memenuhi want-nya, adapun produsen dan distributor memenuhi kelangsungan dan keuntungan maksimal. Dengan demikian ada perbedaan arah dalam tujuan aktifitas ekonomi yang ingin dicapai.
c.       Mashlahah merupakan konsep pemikiran yang terukur (accountability) dan dapat diperbandingkan (comparable), sehingga lebih mudah dibuatkan prioritas dan pertahapan pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran dan pemenuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya akan tidak mudah mengukur tingkat utilitas dan membandingkan antara satu orang dengan yang lainnya, meskipun dalam mengkonsumsi barang ekonomi yang sama dalam kualitas dan kuantitasnya.[8]

3.         Final Spending dan konsumsi untuk akhirat
Final spending adalah konsumsi dan infak seorang muslim, yaitu konsumsi yang berorientasikan duniawi untuk menjaga berbagai macam kebutuhan dlaruriyat. Lebih jauh lagi maksud dari konsumsi itu sendiri adalah penjagaan dalam eksistensi agama (al-din), kehidupan (al-nafs), akal (al-aql), keturunan (al-nasl), dan juga harta benda (al-mal). Kelima hal ini dikenal dengan suatu konsep tentang al-khulliyat al-khamsah. Adapun infak merupakan representasi dari kebutuhan seseorang yang berorientasi kepada akhirat, untuk menjaga al-khulliyat al khamsah orang lain yang berpendapatan rendah demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Selain itu, infak juga merupakan tabungan pahala disisi Allah, yang ketika frekuensi kegiatannya naik maka akan menaikkan keberkahan dalam harta seseorang.[9]
a.    Pemenuhan The Basic Need (Dlaruriyat). Dalam   konsep   maqhashid   al-syari‟ah,   pemenuhan kebutuhan seseorang haruslah mengutamakan the basic need terlebih dahulu. Jika the basic need tidak terpenuhi, maka akan membawa kerusakan pada seseorang, karena the basic need termasuk bagian dlaruriyat yang harus senantiasa  dijaga.  Setelah  the  basic  need terpenuhi, seseorang baru bisa memenuhi kebutuhan  hajuyat, dan kemudian tahsiniyat.
Pemenuhan the basic need bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan terhadap manusia. Allah pernah melukiskan kesejahteraan surgawi dalam peringatan Allah kepada Adam, yang tertera dalam QS. Thaha: 117-119.32

Artinya ; “Maka Kami berkata: "Hai Adam, Sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, Maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.(118). Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang,(119). dan Sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".

Dari ayat ini jelas, bahwa pangan,sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan  kepanasan semuanya telah terpenuhi di surga. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama bagi kesejahteraan manusia. Untuk saat ini, kita dapat berkata bahwa kesejahteraan yaitu ketika terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan.
Pemenuhan the basic need tersebut tetap harus dalam kapasitas yang seimbang (al-tawazun), tidak boleh berlebih-lebihan (al-israf), dan juga bakhil (al-bukhl). Karena ajaran-ajaran Islam mengutamakan keseimbangan dan memerangi segala hal yang berlawanan dengan hal diatas. Ketika seseorang memperoleh income dengan cara yang dan halal dan sah, kemudian membelanjakannya untuk memenuhi the basic need, maka hal tersebut sesuai dengan maqashid al-syari‟ah apabila didalam pembelanjaannya berbeda dalam skala al-tawazun dan diniatkan untuk beribadah kepada Allah.
b. Konsumsi Berorientasikan Akhirat
Islam mengajarkan pola konsumsi yang berorientasikan akhirat akhirat demi meratanya kesejahteraan manusia. Membelanjakan harta untuk membantu perekonomian masyarakat miskin merupakan suatu keharusan. Karena di dalam ajaran Islam, satu orang Muslim dengan yang lainnya diibaratkan seperti satu badan, ketika salah satu anggota tubuhnya merasakan sakit, maka, semua anggota tubuh yang lainnya juga akan sakit.
Islam mengajarkan bahwa membelanjakan harta tidak boleh melampaui batas. Misalnya menafkahkan harta untuk orang banyak dalam jumlah yang lebih besar dibanding nafkah pribadinya. Aturan ini ditetapkan agar ia dan keluarganya dapat hidup serba cukup dan tidak mengemis kepada orang lain.
4.    Konsumerisme danTawazun
a.    Memerhatikan Income dan Expenditure
Menurut Ibn Sina, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu income (pencarian rezeki/kasab) dan expenditure (pengeluaran). Ketika seseorang menginginkan keberkahan, maka ia harus memulai untuk meraih keberkahan tersebut jauh sebelum konsumsi dilakukan. ia harus bekerja dengan cara yang baik, karena Islam mempertimbangkan proses pencarian rizeki harus dilalui dengan proses yang halal dan sah. Sebelum akhirnya dibelanjakan untuk suatu barang atau jasa, dengan cara yang baik pula.[10]
Income dan expenditure haruslah diatur oleh suatu anggaran dengan perhitungan yang cermat. Perolehan income sudah diatur dengan jelas dalam Islam, sehingga nantinya berimplikasi pada label halal ataupun haram dalam income tersebut. Adapun expenditure, Ibn Sina mengklasifikannya menjadi pengeluaran wajib dan tidak wajib. Pengeluaran wajib terkait dengan nafkah sehari-hari dan amal kebijakan untuk orang  lain. Adapun yang termasuk pengeluaran tidak wajib adalah simpanan karena menurut Ibn Sina manusia harus berpikir cerdas untuk perubahan peristiwa yang akan dilaluinya dimasa mendatang. Jadi, seseorang haruslah melakukan saving dan investasi untuk masa depannya. Untuk pengeluaran wajib (nafkah) yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan  sehemat mungkin. Dan untuk amal kebajikan, Ibn Sina menegaskan bahwa lebih  baik dikeluarkan langsung dalam jumlah yang besar untuk pemberdayaan si miskin agar bisa berdiri sendiri.
Bukan dalam bentuk bantuan rutin yang diberikan sedikit demi sedikit, yang berakibat semakin melemahnya motivasi si miskin dalam mencari rezeki. Ibn Sina menerangkan lebih lanjut bahwa bantuan yang bersifat rutin akan bersifat bahaya karena tidak dapat memberdayakan si miskin, sehingga ketika bantuan itu diberhentikan dapat menimbulkan kesan yang tidak menyenangkan.[11]
b. Memerangi Israf (berlebih-lebihan)
              Agama Islam memberikan petunjuk dalam hal mengkonsumsi, maka harus dipilih makanan yang halal dan baik, dan dari rezeki yang halal juga. Konsumsi dalam Islam juga telah diatur. Jumlah yang dikonsumsi oleh seorang manusia tidak boleh kikir, tidak boleh berlebihan, boros, dan semata-mata hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Ancaman Allah sangat nyata terhadap terhadap konsumsi yang berlebihan. Tindakan konsumsi yang berlebihan dibenci Allah, karena perbuatan itu perilaku setan.[12]
              M. Abdul Mannan mempunyai pandangan lebih luas mengenai “sikap tidak berlebih-lebihan” dalam hal konsumsi yang dituntun oleh perilaku para konsumen Muslim yang mengutamakan kepentingan orang lain. Pada hakikatnya konsumsi adalah suatu pengertian yangpositif. Larangan-larangan dan perintah-perintah mengenai makanan dan minuman harus dilihat sebagai bagian usaha untuk meningkatkan sifat perilaku konsumsi. Dengan mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku mengutamakan kepentingan orang lain yaitu pihak konsumen. Dikatakan berlebihan jika dalam pemenuhan kebutuhan kebutuhan sehari- hari di luar batas kewajaran. Yaitu berlebih-lebihan dalam hal makanan, berpakaian, membangun rumah, dan pemenuhan hiburan. Jadi, jika seseorang membelanjakan uangnya untuk kebutuhan hidupnya secara layak, maka ia tidak termasuk orang-orang yang boros. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumerisme dipahami sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan. Konsumerisme juga diartikan sebagai gaya hidup yang tidak hemat.
Dalam sabda Rasulullah SAW salah satunya yaitu tentang hidup hemat  dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa tindakan konsumsi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants) sangat dianjurkan dalam Islam. Sikap sederhana dalam mengkonsumsi terlihat pada larangan Nabi minum dari gelas yang terbuat dari emas ataupun perak. Dua barang ini termasuk barang mewah yang tidak sepantasnya jika digunakan untuk keprluan hidup sehari-hari karena menunjukkan kesan kesombongan. Rasulullah bersabda:
“dari Ummu Salamah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda “barang siapa minum dari tempat yang terbuat dari emas atau perak, maka sesungguhnya ia memasukkan api neraka jahannam ke dalam perutnya”.
(HR.Muslim)
Kemudian yang dimaksud batasan konsumsi dalam Syariah adalah pelarangan Israf atau berlebih-lebihan. Perilaku Israf diharamkan sekalipun komoditi yang dibelanjakan adalah halal. Namun demikian Islam tetap membolehkan seorang Muslim untuk menikmati karunia kehidupan selama itu masih dalam batas kewajaran.[13]
B.  Faktor-faktor Utama yang Mempengaruhi Pembelian

Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli adalah berbeda-beda untuk masing-masing pembeli, disamping produk yang dibeli dan saat pembeliannya berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah:[14]

a. Faktor Budaya

Faktor-faktor budaya mempunyai pengaruh yang paling luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen.
1)  Kultur (kebudayaan) adalah determinan yang paling fundamental dari keinginan dan perilaku seseorang. Anak memperoleh serangkaian nilai (values), persepsi, preferensi, dan perilaku melalui keluarganya dan institusi-institusi utama lainnya. Seorang anak yang dibesarkan di Asia mendapat nilai- nilai berikut: hubungan keluarga dan pribadi, kepatuhan, kepercayaan (trust), respek pada orang-orang yang lebih tua, dan kesalehan.
2)  Subkultur, setiap kultur terdiri dari sub-kultur yang lebih kecil yang memberikan identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik bagi para anggotanya. Subkultur mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan daerah geografis. Banyak subkultur membentuk segmenpasar yang penting, dan para pemasar kerapkali merancang produk dan program pemasaran yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
3)  Kelas sosial adalah devisi atau kelompok yang relatif homogen dan tetap dalam suatu masyarakat, yang tersususn secara hierarkis dan anggota-anggotanya memiliki nilai, minat, dan perilaku yang mirip.[15]

b. Faktor Sosial

Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status soaial.
1)  Kelompok Acuan, seseorang terdiri dari semua kelompok yang mempunyai pengaruh langsung (tatap muka) atau pengaruh tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang.
2)  Keluarga, anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat, dan telah diteliti secara ekstensif.
3)  Peran dan Status, posisi orang tersebut dalam setiap kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan stataus. Suatu peran terdiri atas kegiatan-kegiatan yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Setiap peran membawa suatu status.15

c. Faktor Pribadi

Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu usia pembeli dan tahap siklus hidup, pekerjaan, kondisi ekonomi, dan gaya hidup.
1)  Usia dan Tahap Siklus Hidup, orang membeli barang dan jasa yang berbeda sepanjang hidupnya. Mereka makan makanan bayi pada masa balita, makan hampir semua jenis makanan pada masa pertumbuhan dan dewasa, dan makan makanan diet khusus pada masa tua. Selera orang akan pakaian, perabot mebel, dan rekreasi juga berhubungan dengan usia.
2)  Pekerjaan, pekerjaan seseorang juga memepengaruhi pola konsumsinya. Para pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok pekerjaan yang mempunyai minat lebih rata-rata pada produk dan jasa mereka.
3)  Kondisi Ekonomi, pilihan produk sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seseorang. Kondisi ekonomi meliputi pendapatan yang bisa dibelanjakan (tingkat pendapatan, stabilitas, dan pola waktunya), tabungan dan kekayaan (termasuk presentase yang likuid), utang, kemampuan untuk meminjam, dan sikap terhadap belanja versus menabung.
4)  Gaya Hidup, orang-orang yang berasal dari subkultur, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama mungkin saja mempunyai gaya hidup yang berbeda.[16]

d.Faktor Psikologis

Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi pula oleh empat faktor psikologis utama – motivasi, persepsi, serta keyakinan dan sikap.
1)  Motivasi, seseorang memiliki banyak kebutuhan pada setiap waktu tertentu. Suatu kebutuhan menjadi motif bila telah mencapai   tingkat   intensitas    yang    memadai. Motif  (atau dorongan) adalah kebutuhan yang cukup untuk mendorong seseorang agar bertindak. Pemuasan kebutuhan tersebut akan mengurangi rasa ketegangan. Ahli psikologis telah mengembangkan berbagai teori tentang motivasi manusia. Terdapat tiga teori yang paling terkenal – teori Sigmund Freud, Abraham maslow, dan Frederick Herzberg – yang memiliki implikasi yang cukup berbeda terdapat analisis konsumen dan strategi pemasaran.Teori Motivasi Freud. Freud mengkonsumsi bahwa kekuatan psikologis riil yang membentuk perilaku orang sebagian besar bersifat dibawah sadar. Freud menganggap bahwa orang menahan banyak keinginan dalam proses pertumbuhan dan menerima aturan-aturan sosial. Keinginan-keinginan ini tidak pernah dapat dieliminasi atau dikendalikan dengan sempurna, keinginan ini muncul dalam mimpi, dalam kehilafan ucapan (slips of the tongue), dalam perilaku neurotik.
2)  Persepsi, seseorang yang termotivasi akan siap bertindak. Bagaimana orang yang termotivasi tersebut akan benar-benar bertindak dipengaruhi persepsinya mengenai situasi tertentu. Orang bisa memiliki persepsi yang berbeda terhadap objek yang sama karena adanya tiga proses perseptual: perhatian selektif (selective atlention), distorsi selektif (selective distortions), dan ingatan selektif (selective retention).
3)  Keyakinan dan Sikap, melalui bertindak dan belajar, orang- orang memperoleh keyakinan dan sikap. Kedua faktor ini kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Keyakinan adalah pikiran deskriptif yang dianut seseorang mengenai suatu hal. Sikap menjelaskan evaluasi kognitif, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan seseorang yang suka atau tidak suka terhadap objek atau ide tertentu.[17]

C. Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam Islam
        Islam menjelaskan tentang beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang Muslim yang membedakan dengan prilaku konsumsi non Muslim (Konvensional). Prinsip tersebut didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammada saw. Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut:[18]
1.Prinsip Syariah
a)   Memperhatikan tujuan konsumsi
Prilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang, melainkan fungsi ibadah dalam rangka mendapat ridha Allah swt hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-An’am ayat 162
Artinya: “katakanlah sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
b)   Memperhatikan kaidah ilmiah
Dalam berkonsumsi seorang muslim harus memperhatikan prinsip kebersihan. Prinsip kebersihan mngandung arti barang yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran maupun penyakit. Demikian juga harus menyehatkan dan memiliki manfaat dan tidak mempunyai kemudharatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 172:
Artinya : “Hai orang-orang beriman, maknlah di antara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya menyembah.”
c)   Memperhatikan bentuk konsumsi
Fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip konvensional yang bertujuan kepuasan maksimum (mximum utility), terlepas ada keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakikatnya teori konvensional tidak mengenal Tuhan. Dari segi bentuk konsumsi,seorang muslim harus memperhatikan apapun yang dikonsumsinya. Hal ini berhuungan dengan adanya batasan-batasan orang muslim dalam mengonsumsi suatu barng dan jasa. Seorang muslim misalnya dilarang mengonsumsi dabing babi, bangkai, darah, minuman yang keras dan lain sebagainya. Hal ini sesua dengan Firman Allah swt dalam surah al-Baqarah ayat 173
Artinya: “sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha penyayang.”
2. Prinsip kuantitas
Tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitasnya harus juga dalam batasan-batasan Syariah, yang dalam kuantitas ini memperhatikan  beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:[19]
a. Sederhana
Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang terpuji dalam kondisi yang wajar adalah sederhana. Artinya bahwa di tengah-tengah abtara boros dan pelit. Dimana kesedrahaan ini merupakan salah satu sifat hamba Allah yang maha pengasih, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Furqan ayat 67
Sesungguhnya Umar ra memuji sederhana dalam konsumsi dan mengacam melampauinya sampai tingkat boros atau turun darinya sampai tingkat pelit. Beliau berkata “hendaklah kamu sederhana dalam makanmu. Sebab sederhana lebih dekat kepada perbaikan dan lebih jauh dari pemborosan.”[20]
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan
           kesesuaian antara pemasukan dan konsumsi adalah hal yang sesuai dengan fitrah manusi dan realita. Karena itu salah satu aksioma ekonomi adalah bahwa pemasukan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen individu. Dimana permintaan menjadi bertambah jika pemasukan bertambah, dan permintaas menjadi berkurang jika pemasukan menurun, disertai tetapnya faktor-fakotr yang lain. Kesesuain antara konsumen dan pemasukan tersebut memiliki dalil-dalil yang jelas dalam perekonomia Islam, diantaranya Firman Allah dalam surah Thalaq ayat 7
c. Penyimpanan dan pengembangan
Menyimpan (menabung) merupakan suatu keharusan untuk merealisasikan pengmbangan (investasi). Sebab salah satu hal yang telah dimaklumi, bahwa hubungan antara penyimpanan dan konsumsi adalah kenalikan. Setiap salah satu dari keduanya bertambah, maka berkuranglah yang lain. Karena itu memperluas konsumsi akan berdamak pada penurunan penyimpanan, sehingga berkuranglah modal investasi dengan tingkat penurunan simpanan. Dan demikian ini adalah yang menghambat upaya investasi. Karena ini sistem ekonomi seluruhnya berupaya membatasi konsumsi sebagai Menyimpan (menabung) merupakan suatu keharusan untuk merealisasikan pengmbangan (investasi). Sebab salah satu hal yang telah dimaklumi, bahwa hubungan antara penyimpanan dan konsumsi adalah kenalikan. Setiap salah satu dari keduanya bertambah, maka berkuranglah yang lain. Karena itu memperluas konsumsi akan berdamak pada penurunan penyimpanan, sehingga berkuranglah modal investasi dengan tingkat penurunan simpanan. Dan demikian ini adalah yang menghambat upaya investasi. Karena ini sistem ekonomi seluruhnya berupaya membatasi konsumsi sebagai cara permodalan investasi dan pembentukan modal.[21]
3. Prinsip Prioritas Konsumsi
Jenis  barang konsumsi dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, sebagai berikut:
a) Primer, artinya sesuatu yang harus terpenuhi  untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, yang tanpa dengannya kondisi tidak akan stabil, dan seseorang tidak akan aman dari kebinasaan.
b) Sekunder, yaitu sesuatu yang menjadi tuntutan kebutuhan, yang tanpa dengannya akan terjadi kesempitan, namun tidak sampai pada tingkatan primer.
c) Tersier, yaitu sesuatu yang tidak sampai pada tingkatan kebutuhan primer dan bukan pula kebutuhan sekunder, namun hanya sebatas pelengkap dan hiasan.[22]                 
4. Prinsip Moralitas
Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalamkuantitas dan kualitas konsumsi, dimana yang terpenting diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Umat, sesungguhnya saling berkaitan dan saling sepenanggungan merupakan slah satu ciri dasar umat Islam, baik individu maupun kelompok. Salah satu konsekuensi keimanan tersebut adalah bahwa konsumen muslim memperlihatkan kondisi umatnya, sehingga dia tidak  memperluas kualitas dan kuantitas konsumsi pribadinya, sementara kaum muslim terytama tetangganya tidak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan primer mereka.
b. keteladanan, Umar ra selalu melakukan pengawasan perilaku konsumsi terhadap para individu yang menjadi panutan umat agar tidak menyelewengkan pola konsumsi mereka, sehingga terjadi penyelewengan dalam umat karena mengikuti mereka, dan beliau melarang orang-orang yang menjadi teladan tersebut terhadap apa yang tidak beliau larang terhadap selain mereka.
c. Tidak membahayakan orang lain, setiap muslim menjauhi perilaku konsumtif yang mendatangkan mudharat terhadap orang lain, baik secara langsung maupun tidak, terlebih jika bermudharat bagi orang lain.
Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk kemanjuan material yang pasti sebagai suatu kondisi yang sangat diperlukan bagi evolusi pola sosial yang diharapkan.[23]
D. Mengukur Kepuasan Konsumen Islam
Kepuasan adalah hasrat yang tidak bisa diukur dengan nilai, masing-masing orang memiliki cita rasa yang berbeda namun jika diinginkan terpenuhi maka akan menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tidak membeatasi konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsmsi sebagai wujud kebersinambungan antara sang makhluk (hablum minan nas) dan antara Tuhan (Hablum minallah). Dalam perilakau konsumen Muslim bila digambarkan secara grafis dengan mengunakan alat analisis kurva indeferensi terhadap perilaku konsumen muslimperlu dilakukan suatu modifikasi dimana batasan yang membatasi konsumsi seorang konsumen muslim bukanlah hanya garis anggaran semata namun juga adanya batasan Syariah. Sehingga batasan seorang konsumen Muslim secara grafis dibatasi oleh garis anggaran dan Syariah (budget and syariah line (BSL)). Pada garis anggaran dan Syariah ini secara posisi, letaknya berada lebih rendah dibandingkan pada garis anggaran. Karena adanya batasan dalam Syariat Islam, seperti larangan untuk mengkonsumsi barang yang haram, larangan riba, larangan untuk konsumsi yang berlebihan dankewajiban berzakat. Secara grafis hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Selanjutnya tingkat kepuasan konsumen Muslim optimum dapat  tercapai pada persinggungan antara kurva indiferensi dengan garis anggaran dan Syariah.



Gambar 2. Titik optimum kepuasan Muslim
Berdasarkan Gambar 2 di atas tingkat kepuasan yang konsumen Muslim paling Optimum adalah pada titik Q* yaitu pada kurva indeferensi U2  karena pada titik inilah terjadi persinggungan antara kurva indeferensi dengan garis anggaran dan Syariah. Pada kurva U1 tingkat kepuasan konsumen belum optimum karena adanya pendapatan yang tidak dipergunakan untuk konsumsi, sehingga tingkat kepuasan konsumen yang optimal belum tercapai. Sementara pada kurva U3, meskipun kurva indeferensi lebih besar dibandingkan pada kurva U2 dan terjadi persinggungan dengan garis anggaran, namun tingkat kepuasan konsumen Muslim tidak optimum karena adanya batasan Syariah yang belum dipenuhi, seperti belum dikeluarkannya zakat dari pendapatan yang diterima atau adanya barang-barang yang tidak boleh dikonsumsi, hal ini menyebabkan kurva U3 tidak optimum bagi seorang konsumen Muslim.[24]



BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
Konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah swt. Untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama muslim selalu dan harus di dasarkan pada syariah Islam. Konsumsi dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (Utility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Dengan kata lain sepanjang masyarakat memiliki pendapatan, maka tidak ada yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang yang diinginkan tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain atau mempertimbangkan aspek lain seperti kehalalan.Teori konsumsi dari kedua pandangan tersebut selalu berbeda, baik ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam setuju bahwa masyarakat dalam berkonsumsi adalah semata-mata untuk mempertahankan hidup. 



DAFTAR PUSTAKA

James. Micheal. Pembangunan Ekonomi  Di Dunia  Ketiga. Jakarta: Ghalia, 2001.

Yuliadi, Imammudin. Ekonomi Islam; Sebuah Pengantar. Yogyakarta, Lembaga Pengkajian Dan Pengamalan Islam (Lppi) 2012.
Rahardja, Pratama ,Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi Dan Makroekonomi). Jakarta: Feui, 2004.

Yunia Fauzia, Ika, Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al- Syariah. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Swasta, Basu Irawan, Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty Offset. 2003.

Hakim, Lukman. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta, Erlangga, 2012.

Bin Ahmad Al-Haritsi, Jaribah. Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khattab. Jakarta: Khalifa. 2006.
A Karim, Adiwarman . Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Iiit-Indonesia, 2002.


[1] Micheal James, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, (Jakarta: Ghalia, 2001), Hlm.49.
[2] Imammudin Yuliadi, Ekonomi Islam; Sebuah Pengantar, (Yogyakarta, Lembaga Pengkajian Dan Pengamalan Islam (Lppi) 2012), Hlm.17.
[3] Pratama Rahardja, Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro Ekonomi Dan Makroekonomi), (Jakarta: Feui, 2004), Hlm. 41.
[4] Ika Yunia Fauzia Dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid Al- Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), Hlm. 176
[5] Ibid, Hlm. 162-163.
[6] Ibid, Hlm 164-165
[7] Ibid, Hlm 165.
[8] Ibid, Hlm 167.
[9] Ibid, Hlm. 174.
[10] Ibid. Hlm. 169-170
[11] Ibid, Hlm 170-171
[12] Ibid, Hlm 61
[13] Ibid, Hlm  15.
[14]  Basu Swasta Dan Irawan, Manajemen Pemasaran Modern, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2003), Hlm.105.
[15] Ibid, Hlm 116
[16] Ibid, Hlm 118-119
[17] Ibid, Hlm 122
[18] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta, Erlangga, 2012), Hlm. 94.
[19] Ibid, hlm 93-95
[20] Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khattab, (Jakarta, Khalifa, 2006), Hlm.145.
[21] Ibid, Hlm 151.
[22] Ibid, Hlm. 154.
[23] Ibid, hlm 153
[24] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Iiit-Indonesia, 2002), Hlm.87.

No comments:

Post a Comment