Saturday, March 8, 2025

Hari Pertama Perkuliahan dan Awal Sebuah Perjuangan

Hari Pertama Perkuliahan dan Awal Sebuah Perjuangan

Novel Fiksi Berseries 


Pagi itu, Damar tiba di kampus pukul delapan tepat. Matahari belum terlalu terik, tetapi halaman kampus sudah penuh dengan mahasiswa yang berlalu-lalang menuju kelas masing-masing. Ini adalah hari pertama perkuliahan, dan Damar masih merasa asing dengan lingkungan ini.

Di dalam kelas, ia menemukan Abdan dan Zaidan sudah duduk di bangku tengah. "Akhirnya kau datang juga, Mar," sapa Abdan sambil tersenyum.

Damar mengangguk tanpa banyak bicara. Perhatiannya kemudian tertuju pada seorang mahasiswa berkacamata tebal yang duduk di pojok depan. Dari caranya merapikan buku dan mencatat sesuatu di kertasnya, dia jelas tipe kutu buku.

"Itu Arif," bisik Zaidan, menangkap rasa penasaran Damar. "Dia anaknya rajin dan pintar, katanya sudah membaca banyak buku hukum meski baru masuk kuliah."

Di sudut lain, ada seorang perempuan dengan tatapan tajam dan penuh percaya diri. Setiap dosen masuk, ia terlihat mencatat dan kadang bertanya dengan kritis. "Sabrina," lanjut Zaidan. "Dia dikenal vokal, katanya aktivis."

Tak jauh dari Sabrina, ada seorang mahasiswi dengan wajah yang menarik perhatian banyak orang. Parasnya cantik, rambutnya tergerai rapi, dan setiap orang yang berbicara dengannya tampak terpesona. "Amel," ucap Abdan kali ini. "Bintang kelas. Banyak yang sudah naksir padanya."

Damar hanya mengangguk. Ia tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti itu. Baginya, kuliah hanyalah kewajiban yang harus ia jalani karena keadaan.

Pemilihan Ketua Kelas

Mata kuliah pertama adalah Pengantar Ilmu Hukum, yang dibawakan oleh Prof. Wajdi. Sosok dosen senior ini sangat dihormati, caranya menjelaskan begitu sistematis dan menarik, membuat Damar yang awalnya tidak tertarik pada dunia hukum mulai sedikit memperhatikan.

Setelah kuliah selesai, kelas mengadakan pemilihan Komting (ketua kelas). Ada dua kandidat: Wildan, mahasiswa dengan gaya santai yang supel, dan Sabrina, dengan gaya bicara yang tegas dan meyakinkan.

Wildan memperkenalkan diri dengan gaya santai. "Saya akan membuat kelas ini lebih asyik dan tidak kaku," ucapnya, disambut tepuk tangan kecil.

Sabrina berbicara dengan nada lebih serius. "Saya ingin kelas ini menjadi komunitas akademik yang kuat, saling mendukung, dan tidak hanya sekadar kuliah lalu pulang."

Hasil pemungutan suara menunjukkan Sabrina menang dengan 19 suara, sedangkan Wildan 18 suara. Tiga orang tidak hadir yang mungkin bisa saja merubah segalanya.

Damar mengangkat bahu. Ia tidak begitu peduli siapa yang menang. Yang penting, kelas bisa berjalan lancar.

Suasana Tegang di Kantin dan Perebutan Papan Pengumuman

Setelah pemilihan, Abdan mengajak mereka makan siang di kantin yang terletak di samping gedung serbaguna. Saat mereka masuk, hampir semua meja sudah penuh dengan mahasiswa senior.

"Ada satu meja kosong di depan kasir," kata Zaidan. Mereka pun menuju ke sana.

Di meja sebelahnya, Sandi, ketua BEM, duduk bersama pacarnya Rania. Suasana seketika menjadi canggung. Damar bisa merasakan tatapan tajam dari arah mereka, mengingat kejadian ospek kemarin.

"Kelihatannya mereka belum melupakan insiden itu," bisik Zaidan.

Damar tetap cuek dan mulai makan. Namun, belum lama mereka duduk, ada keributan kecil di dekat papan pengumuman di depan kantin.

Beberapa mahasiswa tampak memasang brosur rekrutmen organisasi, baik organisasi internal seperti UKM dan Himpunan Mahasiswa, maupun organisasi eksternal yang berafiliasi dengan gerakan mahasiswa di luar kampus.

"Hei! Ini tempat Hima, nggak boleh sembarangan tempel di sini!" terdengar suara mahasiswa yang mengenakan jaket Himpunan Mahasiswa.

"Kita juga berhak memasang di sini, bro! Kampus ini bukan cuma milik kalian!" balas mahasiswa lain dari organisasi eksternal.

Perdebatan semakin memanas. Beberapa mahasiswa mulai berkerumun, ada yang sekadar menonton, ada juga yang berusaha melerai.

Damar yang awalnya tidak peduli akhirnya menoleh juga. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan.

Abdan mengangkat bahu. "Biasalah, soal perebutan ruang. Organisasi kampus selalu begini, saling sikut buat dapat tempat promosi."

Zaidan tertawa kecil. "Aku malah tertarik gabung di UKM Demokrasi. Pasti seru kalau bisa ikut diskusi dan aksi-aksi."

Damar hanya menghela napas. Ia masih tidak tertarik dengan organisasi kampus, apalagi setelah kejadian ospek kemarin.

Sembari makan, mereka terus merasakan tatapan sinis dari ketua BEM dan beberapa pengurus lainnya. Seakan kejadian ospek masih menyisakan dendam.

Sebelum mereka selesai makan, seorang pengurus BEM menghampiri meja mereka.

"Bro, pinjam mancis," katanya santai.

Damar merogoh saku dan menyerahkan mancisnya. Namun, sebelum pergi, pengurus BEM itu menepuk bahunya dan berkata dengan nada penuh sindiran, "Jangan sok jagoan di kampus, ya."

Damar hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Panggilan Aksi Demonstrasi

Saat hendak keluar dari kantin, suara dari pengeras suara menggema di seluruh kampus.

"Panggilan untuk seluruh mahasiswa! Besok akan ada aksi demonstrasi di depan gedung DPR terkait kebijakan pencabutan subsidi gas LPG 3 kg. Mari bersolidaritas untuk kepentingan rakyat!"

Abdan terlihat tertarik. "Kemarin di kelas kita membahas soal ini, kan? Harga LPG melonjak gila-gilaan."

Zaidan juga setuju. "Ini kesempatan untuk menyuarakan keresahan masyarakat."

Damar awalnya tidak terlalu peduli. Baginya, kebijakan pencabutan subsidi mungkin ada benarnya karena sering disalahgunakan oleh orang-orang kaya. Namun, karena Abdan dan Zaidan begitu antusias, ia akhirnya setuju untuk ikut.

Mereka lalu mendaftarkan diri di posko aksi dan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp peserta aksi.

Rapat Malam di Lapangan Pelopor

Setelah sampai di kos, ada pengumuman di grup.

"Rapat teknis aksi malam ini, lapangan Pelopor, wajib hadir bagi peserta."

Damar dan Abdan memutuskan untuk datang. Zaidan, meski tinggal di rumah pamannya, juga ikut bergabung.

Di lapangan Pelopor, seorang mahasiswa semester lima bernama Adit memimpin rapat. Ia dikenal sebagai aktivis vokal dan pernah mencalonkan diri menjadi ketua BEM, tetapi kalah dari Sandi.

Dengan suara yang lantang dan berwibawa, Adit menjelaskan tujuan aksi. "Pencabutan subsidi LPG ini bukan hanya soal harga, tapi soal hak rakyat kecil. Pemerintah gagal mengawasi distribusi, dan malah rakyat miskin yang dikorbankan!"

Damar mendengarkan dengan seksama. Pandangannya mulai berubah. Ia mulai memahami bahwa kebijakan pemerintah tidak selalu benar jika pelaksanaannya tidak berpihak pada rakyat.

Saat sesi pembagian tugas, Adit menunjuk beberapa orang untuk menjadi orator dalam aksi besok.

"Damar, kamu akan jadi salah satu orator besok!"

Damar terkejut. "Aku?"

"Ya, suaramu lantang. Aku yakin kamu bisa," kata Adit dengan yakin.

Abdan menepuk pundak Damar. "Kesempatan bagus, bro!"

Malam itu, Damar pulang dengan pikiran penuh. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan berdiri di depan massa, berorasi di hadapan DPR. Namun, besok, ia akan melakukannya.

Dan ia akan terus kepikiran apa yang harus dia orasikan besok hari


Bersambung......

Friday, March 7, 2025

Hari terakhir Ospek Menjadi Tragedi

Hari Terakhir Ospek Menjadi Tragedi

Novel Fiksi Berseries

Ruang Intimidasi

Damar baru saja turun dari podium ketika dua panitia tentor tiba-tiba mencengkeram lengannya dengan kuat.

"Ikut kami," bisik salah satu dari mereka dengan nada dingin.

Damar menoleh, tetapi sebelum sempat protes, mereka sudah menyeretnya ke luar lapangan. Suasana di luar masih riuh oleh suara mahasiswa baru yang mengikuti sesi berikutnya, tetapi tak ada yang benar-benar memperhatikan ketika Damar digiring melewati lorong belakang gedung menuju sebuah ruangan yang tidak dikenal.

Sebuah kain hitam tiba-tiba ditutupkan ke wajahnya.

"H-hey! Apa-apaan ini?!"

"Tutup mulut!" bentak salah satu senior.

Damar mencoba meronta, tapi genggaman mereka terlalu kuat. Dia bisa merasakan langkah kakinya semakin jauh dari keramaian. Setelah beberapa saat berjalan, ia didorong masuk ke sebuah ruangan. Suara pintu ditutup dan dikunci dari luar.

Saat kain hitam di wajahnya ditarik, Damar harus menyipitkan mata karena cahaya yang redup. Ia berada di dalam ruangan sempit, di sekelilingnya ada lima senior yang menatapnya dengan ekspresi dingin.

Di tengah ruangan, duduklah Ketua BEM dengan kaki disilangkan di atas meja.

"Berani juga kau ya," katanya dengan suara rendah, tetapi mengandung ancaman yang jelas.

Damar diam. Ia tahu ini adalah permainan psikologi.

Salah satu senior berambut cepak menghantam meja dengan tangan.

"Jawab kalau ditanya, anak baru!" bentaknya.

Damar tetap diam.

Tiba-tiba, seseorang menarik kerah bajunya dan mendorongnya ke belakang hingga hampir terjatuh.

"Kau pikir kau hebat?!" teriak senior lainnya. "Berani-beraninya mengganggu Rania! Berani-beraninya melawan kami?!"

Damar menarik napas dalam. Ia tak takut, tapi ia juga tak bodoh. Perlawanan fisik hanya akan membuat segalanya lebih buruk.

Ketua BEM berdiri dan berjalan mendekatinya, menatap langsung ke matanya.

"Kau ini mahasiswa baru. Kau bukan siapa-siapa di sini. Kami yang mengatur kampus ini. Kau bisa jadi kawan, atau jadi musuh."

Ia menepuk pundak Damar dengan keras.

"Kami sudah putuskan, kau harus tanda tangan surat pernyataan. Kalau tidak..."

Salah satu senior mengeluarkan ponsel dan menyalakan kamera.

"Kami bisa pastikan kau punya awal yang buruk di kampus ini," katanya dengan senyum miring.

Damar menatap mereka satu per satu. Dalam hatinya, ia muak. Ini bukan sekadar Ospek, ini permainan kekuasaan yang busuk.

Sebuah map dilempar ke atas meja.

"Tanda tangan," perintah Ketua BEM.

Damar menatap kertas itu.

"Saya, Damar, mahasiswa baru, dengan ini menyatakan bahwa saya tidak akan mengulangi tindakan yang mengganggu jalannya Ospek dan bersedia mengikuti seluruh rangkaian acara dengan tertib."

Ia mengepalkan tangannya.

"Kalau aku nggak tanda tangan?" tantangnya.

Salah satu senior menendang kursi di sampingnya hingga jatuh dengan suara keras.

"Kami yang menentukan hidupmu di kampus ini! Mau dibuat susah?! HAH?!"

Damar terdiam. Ia tahu, ia sedang berada di sarang serigala.

Dengan enggan, ia meraih pulpen.

Garis tanda tangan itu terasa seperti rantai yang membelenggunya. Tapi ia tahu, terkadang mundur satu langkah adalah cara terbaik untuk memenangkan perang yang lebih besar.

Ia membubuhkan tanda tangannya.

"Bagus," kata Ketua BEM sambil tersenyum puas.

Seorang senior membuka pintu. "Kau boleh pergi."

Tanpa menoleh, Damar melangkah keluar.

Ia tidak akan lupa kejadian ini.

Dan ia tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja.

Damar: Api dalam Sekam

(Lanjutan Hari Ketiga Ospek – Gaya Madilog dengan Sentuhan Naratif yang Lebih Mendalam)



Percakapan di Telepon

Setiba di rumah, Damar melempar tasnya ke lantai dan merebahkan diri di kasur.

Pikirannya masih berputar tentang kejadian tadi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama Abdan muncul di layar.

"Bro, lo baik-baik aja?" suara Abdan terdengar khawatir.

"Aman," jawab Damar singkat.

"Gila, lo disekap di Sekretariat BEM selama beberapa jam. Gue sama Zidan tadi udah kepikiran buat nekat ke sana."

Damar tersenyum tipis. "Nggak perlu. Gue baik-baik aja. Besok ketemu di kampus aja."

"Oke, besok kita bareng."

Damar meletakkan ponselnya dan menatap langit-langit kamar.

Ia tahu ini belum selesai.


Merangkak Menuju Kekonyolan

Pagi di hari ketiga Ospek terasa lebih kelam. Damar, Abdan, dan Zidan berdiri di gerbang kampus, menatap barisan mahasiswa baru yang sudah mulai merangkak di aspal panas.

"Ini serius?" gumam Zidan tak percaya.

"Kita diperlakukan kayak anak TK," tambah Abdan, mendecak kesal.

Dengan pakaian olahraga, topi kerucut dari karton, dan tas dari goni plastik, mereka semua terlihat seperti peserta karnaval yang dipaksa berpartisipasi.

Teriakan senior dari megafon mengiringi perjalanan mereka ke Gedung Serbaguna. "Cepat! Jangan malas! Kampus ini bukan tempat buat orang lembek!"

Damar menahan geram, tapi tetap mengikuti arus. Ia tahu, melawan sekarang hanya akan memperburuk keadaan.



Teater Kekuasaan

Begitu sampai di dalam gedung, suasana tidak lebih baik. Ketua BEM berdiri di atas panggung bersama anggotanya, memasang wajah garang.

"Selamat datang di hari terakhir Ospek!" suaranya menggema. "Hari ini kalian akan mengenal lebih dalam tentang kampus ini, termasuk sistem akademik dan organisasi kemahasiswaan!"

Seorang dosen naik ke panggung, menjelaskan tentang pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) dan mekanisme ujian. Ini adalah bagian yang paling berguna sepanjang Ospek, meski disampaikan dalam suasana yang tetap dipenuhi tekanan dari senior.

Damar memperhatikan, tapi pikirannya masih dipenuhi rasa muak terhadap sistem yang menindas mahasiswa baru.

Setelah sesi perkenalan sistem perkuliahan, mereka digiring kembali ke lapangan.



Bisnis Berkedok Cendera Mata

Mahasiswa baru dikelompokkan berdasarkan fakultas, lalu para tentor senior maju dengan gantungan kunci dan stiker di tangan.

"Oke, teman-teman! Ini cendera mata eksklusif dari Ospek! Kalian wajib beli. Harganya 50 ribu per paket!"

Damar tersentak. Ia melihat barang-barang itu. Gantungan kunci plastik murahan. Stiker biasa.

Ia menahan tawa sinis.

"Mereka ini mahasiswa atau pedagang pasar?" pikirnya.

Di sudut belakang, seorang mahasiswa mengangkat tangan.

"Kenapa harganya mahal? Ini cuma barang murah!"

Zidan langsung menimpali, "Kami nggak mau beli kalau harganya segini."

Sorakan setuju terdengar dari beberapa mahasiswa lain.

Ketua BEM menatap tajam. "Kalian nggak wajib beli, tapi kalau nggak beli, jangan harap ada kelonggaran dari kami di kampus nanti."

Suasana semakin panas. Beberapa mahasiswa tetap membangkang, dan akhirnya, setelah negosiasi panjang, harga diturunkan menjadi 20 ribu.

"Itu masih kemahalan," bisik Abdan pada Damar. "Di pasar, lima ribu dapet tiga."

Damar mengangguk. Ini bukan soal uang. Ini soal prinsip.

Mereka akhirnya menyerahkan uang dengan setengah hati.



Kekecewaan yang Membara

Ospek akhirnya ditutup dengan tepuk tangan setengah hati dari mahasiswa baru.

Damar, Abdan, dan Zidan berjalan keluar kampus dengan perasaan campur aduk.

"Gila ya, mereka teriak-teriak soal idealisme, tapi ujung-ujungnya kayak gini," kata Zidan sambil menggeleng.

"Kayak pejabat korup," tambah Damar pelan.

Abdan menghela napas. "Gue jadi makin males ikut organisasi kampus. Mereka sama aja kayak sistem yang mereka kritik."

Damar tersenyum miring. "Mereka baru dikasih kuasa secuil, udah mulai menindas. Gimana kalau mereka beneran jadi pejabat nanti?"

Mereka bertiga terdiam.

Satu hal yang jelas bagi Damar: kampus ini adalah cerminan dunia nyata.

Dan jika ingin bertahan, ia harus lebih cerdas dari mereka semua.




(Bersambung…)

Wednesday, March 5, 2025

Ospek Hari Kedua di Kampus

Hari Kedua di Kampus

Novel Fiksi Berseries 


Matahari belum tinggi saat Damar kembali menginjakkan kaki di halaman kampus. Rasa enggan masih menggelayut di dadanya, tapi ia tak punya pilihan. Ospek masih berlanjut.


Setelah insiden kemarin, ia sudah menyiapkan diri untuk berbagai kemungkinan. Bisa saja senior-senior itu makin mencari masalah dengannya. Bisa juga Ketua BEM mencoba menunjukkan kuasanya lagi. Namun, satu hal yang pasti—Damar tidak akan tunduk begitu saja.

 

Abdan dan Zidan sudah menunggunya di depan gedung aula.

 

"Bro, kemarin setelah kejadian itu, kamu aman?" tanya Abdan dengan nada khawatir.

 

Damar mengangkat bahu. "Aman, cuma diperingatkan aja. Tapi gue nggak suka caranya."

 

Zidan mengangguk. "Ketua BEM itu sok banget. Emangnya siapa dia? Cuma karena pacarnya bintang kampus, kita harus tunduk?"

 

"Justru itu," gumam Damar. "Gue nggak habis pikir, kenapa kita mahasiswa baru harus ngikutin aturan nggak jelas begini?"

 

Abdan tertawa kecil. "Selamat datang di dunia kampus, bro."

 

Namun, percakapan mereka terpotong oleh suara megafon.

 

"Mahasiswa baru, kumpul di lapangan! Cepat!"

 

Senior-senior sudah berdiri tegak di depan, wajah mereka dingin dan tegas. Tidak ada tanda-tanda keakraban atau niat untuk membimbing. Yang ada hanya dominasi dan kepatuhan buta.


 ---

Pidato dari Sang Rektor


Matahari menggantung malu-malu di langit pagi, mengirimkan bias cahaya hangat yang jatuh di halaman kampus. Ribuan mahasiswa baru duduk berjejer di lapangan utama, mengenakan kaus seragam Ospek yang sudah mulai lecek. Damar duduk di barisan tengah bersama Abdan dan Zidan, masih diliputi perasaan malas dan kesal akibat insiden kemarin.


Suara mikrofon yang berdengung membungkam kericuhan kecil di antara mahasiswa. Seorang pria paruh baya dengan jas hitam elegan melangkah ke podium. Sorot matanya tajam, penuh wibawa. Ia adalah Prof. Zamidan Nasir, sang rektor.


Damar mengangkat kepala, sedikit tertarik. Ia tak banyak tahu tentang pria ini, hanya mendengar bisik-bisik bahwa beliau lulusan luar negeri dengan segudang prestasi.


Rektor membuka pidatonya dengan senyum tipis.


"Mahasiswa sekalian," suaranya tenang, namun menggema. "Kalian telah melangkah ke dunia yang berbeda. Kampus bukan sekadar tempat belajar, tetapi laboratorium kehidupan, tempat gagasan diuji, dan pemikiran dikembangkan."


Mahasiswa mulai hening, terhanyut dalam wibawa sang rektor.


"Kalian lahir di era yang unik. Dunia berubah dengan cepat. Kita tidak lagi berbicara tentang persaingan fisik, tetapi persaingan gagasan dan inovasi. Dan saat ini, perubahan terbesar datang dari Artificial Intelligence (AI).”


Beberapa mahasiswa saling bertukar pandang.


"AI bukan sekadar robot atau mesin. AI adalah bagian dari kehidupan kita. Ia ada dalam ponsel yang kalian gunakan, dalam algoritma yang menentukan berita apa yang kalian lihat, bahkan dalam cara kalian belajar di masa depan."


Damar mulai memperhatikan.


"Jika mahasiswa tidak melek AI, kalian akan tertinggal. Kalian tidak harus menjadi ilmuwan komputer, tetapi kalian harus memahami bagaimana dunia ini bergerak. Sebab siapa yang menguasai teknologi, dialah yang mengendalikan masa depan."


Sorakan kecil terdengar dari beberapa kelompok mahasiswa.


"Jadilah pemikir, bukan sekadar pengikut. Tantang status quo, tapi dengan ilmu, bukan sekadar amarah. Dan yang paling penting, jangan pernah berhenti belajar."


Damar terdiam.


Ia mungkin belum tahu banyak soal AI, tapi ada sesuatu dalam pidato ini yang mengusiknya. Seperti sebuah tantangan tersembunyi yang dilemparkan kepadanya.


Sorakan tepuk tangan pecah ketika Prof. Zamidan mengakhiri pidatonya.


Dan Damar, untuk pertama kalinya, merasa sedikit tertarik pada apa yang ditawarkan kampus ini.



---


Mencari Tempat di Kampus


Setelah sesi orasi ilmiah, suasana kampus berubah menjadi lebih santai. Tenda-tenda berdiri di sepanjang koridor, penuh dengan spanduk warna-warni bertuliskan nama berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).


"Kita lihat-lihat, yuk!" ajak Abdan penuh semangat.


Damar mengangguk lesu. Ia tak terlalu tertarik, tetapi tak ada salahnya mengikuti arus.


UKM Pecinta Alam menarik perhatian pertama. Di depan tenda, ada panjat tebing mini dan foto-foto ekspedisi ke gunung-gunung tinggi. Mata Abdan berbinar.


"Gila, ini keren banget!" katanya. "Gue bakal daftar di sini!"


Mereka lanjut ke UKM Demokrasi, tempat Zidan tampak tertarik. Di sana, ada mahasiswa dengan kemeja kasual sedang berbicara tentang diskusi kebijakan, advokasi mahasiswa, dan debat publik.


"Ini tempatnya gue banget," gumam Zidan sambil mengisi formulir.


Damar hanya berdiri di tengah hiruk-pikuk. Ada UKM Kesenian, dengan gitaris memainkan lagu-lagu indie. UKM Media, yang sibuk dengan kamera dan laptop editing. UKM Keagamaan, dengan kelompok diskusi filsafat Islam.


Ada yang menarik di tiap sudut, tetapi Damar tak merasa cocok di mana pun.


Ia masih kesal. Kesal dengan Ospek. Kesal dengan sistem kampus. Kesal dengan Rania dan Ketua BEM.


Jadi, ia hanya diam dan menunggu sesi berikutnya dimulai.


------

Orasi dan Harga Diri


Langit mulai beranjak siang ketika para mahasiswa dikumpulkan kembali di lapangan.


"Baik, hari ini kita akan latihan orasi!" seru seorang tentor.


Damar mendesah. Setelah pidato inspiratif dari rektor dan keriuhan UKM, kini mereka kembali ke sesi yang terasa lebih seperti ajang unjuk kekuasaan.


Beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik. Tidak semua orang nyaman berbicara di depan umum.


"Setiap kelompok akan memilih satu perwakilan untuk berorasi di podium! Temanya: Peran Mahasiswa dalam Perubahan Sosial!"


Damar menghela napas. Ini benar-benar bukan gayanya.


Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Zidan menepuk bahunya.


"Gue rasa lo yang cocok maju, Mar."


Damar menatapnya tajam. "Kenapa gue?"


"Karena lo nggak takut sama senior!" tambah Abdan. "Mereka harus dengar suara orang yang nggak tunduk sama aturan konyol mereka."


Damar terdiam.


Akhirnya, dengan langkah mantap, ia naik ke podium.


Seluruh mata tertuju padanya. Ketua BEM ada di antara penonton, menyilangkan tangan dengan ekspresi meremehkan. Rania juga ada di sana, menatap dengan wajah datar.


Damar menarik napas.


"Kita semua ada di sini untuk belajar. Tapi apa yang kita pelajari dari Ospek ini? Bahwa kita harus tunduk tanpa alasan? Bahwa yang lebih tua selalu benar? Bahwa mahasiswa baru harus menerima perlakuan semena-mena?"

 

Beberapa senior mulai berbisik-bisik, tapi Damar melanjutkan.

 

"Kampus ini harusnya tempat berpikir, bukan tempat tunduk! Kalau kita diam, kita membiarkan budaya ini terus berlanjut. Kalau kita takut bicara, kita akan selalu jadi korban!"

 

Sorakan mulai terdengar dari mahasiswa baru. Beberapa senior mulai terlihat tidak nyaman.

 

Ketua BEM maju selangkah, wajahnya merah padam. "Cukup!" teriaknya.

 

Damar menatapnya tajam.

 

"Apa yang cukup, Kak? Kebenaran?"

 

Hening.

 

Ospek hari kedua baru saja berubah menjadi medan pertempuran harga diri.

 

Dan Damar tidak berniat mundur.

 

Bersambung.......

Tuesday, March 4, 2025

Hari Pertama Masuk Kampus

Hari Pertama Masuk Kampus 

(Sebuah Novel Fiksi Berseries)


Api yang Padam Sebelum Menyala

Damar tidak pernah bercita-cita menjadi mahasiswa. Bagi anak laki-laki seusianya, kehidupan yang ideal adalah mengenakan seragam loreng, menggenggam senjata, dan membela tanah air di garis depan. Namun, Tuhan dan nasib punya rencana lain. Tubuhnya yang kurang memenuhi syarat, keuangan keluarga yang seret, serta restu orang tua yang tak kunjung datang memaksa impian itu hanya menjadi angan-angan yang perlahan mengendap di dasar hatinya.

Sebagai gantinya, ia kini berdiri di gerbang sebuah perguruan tinggi, bukan karena keinginannya, melainkan karena paksaan sang paman, seorang dosen di kampus ini. Paman menganggap pendidikan hukum akan memberinya masa depan yang lebih cerah dibanding angan-angan kosong menjadi tentara.

Hari ini adalah hari pertama orientasi mahasiswa baru—yang lebih dikenal sebagai Ospek. Sejak awal, Damar sudah malas. Bukan hanya karena ia dipaksa masuk kuliah, tetapi juga karena Ospek ini tampak seperti ajang pamer kuasa para senior yang lebih dulu menginjakkan kaki di kampus.

"Apa faedahnya diteriaki senior? Apa hubungannya dengan ilmu hukum?" batinnya geram.

Namun, ia tetap datang. Setidaknya, ia harus menghormati keputusan yang sudah dibuat—atau lebih tepatnya, dipaksakan kepadanya.


Arena Gladiator di Kampus

Damar telat.

Ia memang sudah berniat bangun pagi, tapi semangatnya yang hanya setipis benang membuatnya berlama-lama di kasur. Akibatnya, begitu tiba di kampus, ia langsung disambut dengan teriakan dari seorang senior yang bertindak sebagai tentor.

"Kamu mahasiswa baru, ya?! Kenapa telat?! Mana seragammu?!"

Damar menarik napas panjang. Ia tak suka berbicara banyak, apalagi dengan orang yang menurutnya tak perlu ditanggapi serius.

"Maaf, Kak," jawabnya singkat.

Tentu saja permintaan maafnya tak diterima begitu saja. Sebagai hukuman, ia disuruh mencari sepuluh tanda tangan senior. Daftar nama sudah ditentukan, dan salah satunya adalah Rania—sosok yang katanya menjadi bintang kampus.

Damar tak peduli dengan gelar-gelar semacam itu. Baginya, semua ini hanya ritual sia-sia. Namun, untuk menghindari masalah lebih besar, ia tetap mencoba menjalankan tugasnya.

Dibantu dua teman barunya, Abdan dan Zidan, Damar mulai berburu tanda tangan. Satu per satu senior memberikan tanda tangan mereka, meski beberapa memberinya dengan tatapan sinis. Namun, saat sampai pada nama Rania, segalanya berubah.


Rania dan Amarah yang Membara

Rania adalah perempuan yang, menurut standar umum, sangat menarik. Wajahnya anggun, pembawaannya tenang, dan senyumnya menawan. Namun, bagi Damar, ia hanyalah nama terakhir dalam daftar tanda tangan yang harus dikumpulkan.

Saat bertemu, Damar langsung mengutarakan maksudnya.

"Kak Rania, saya mahasiswa baru. Bisa minta tanda tangannya?"

Rania mengerutkan dahi, lalu menatapnya dengan tatapan meremehkan.

"Maaf, aku nggak ngasih tanda tangan untuk yang kayak kamu."

Damar terdiam sejenak. Ia tahu senior di kampus bisa saja angkuh, tapi ia tak menyangka akan ditolak sekeras ini.

"Kenapa, Kak?" tanyanya, masih berusaha sopan.

"Aku nggak mau. Itu cukup, kan?" Rania berbalik pergi.

Namun, Damar tahu ia tak bisa pulang tanpa tanda tangan itu. Ia mencoba lagi, sedikit lebih memaksa.

"Kak, ini tugas dari tentor. Kalau saya nggak dapat tanda tangan Kakak, saya bakal kena hukuman lagi."

Rania mulai risih. "Itu urusanmu, bukan urusanku."

Namun, Damar tak menyerah. Ia terus meminta, hingga akhirnya Rania merasa terganggu. Dengan wajah kesal, ia berbalik dan berkata dengan nada tegas, "Kamu ganggu aku! Jangan paksa aku, atau aku laporin kamu ke ketua BEM!"

Dan ia benar-benar melakukannya.

Tak lama, Damar dipanggil ke ruangan BEM.


Kemarahan Seorang Damar

Ketua BEM, seorang mahasiswa tingkat atas dengan postur tegap dan wajah penuh wibawa, duduk di balik meja dengan tangan terlipat di depan dada.

"Jadi kamu yang ganggu Rania?" tanyanya dengan nada dingin.

Damar menghela napas. "Saya nggak ganggu, Kak. Saya cuma menjalankan tugas Ospek."

"Tapi Rania nggak mau kasih tanda tangan, dan kamu tetap memaksa."

Damar menatap lurus ke arah Ketua BEM. "Saya disuruh senior mencari tanda tangan. Saya hanya menjalankan perintah mereka. Kenapa sekarang saya yang disalahkan?"

Ketua BEM tersenyum sinis. "Jangan berlagak pintar, adik kecil. Kalau ada yang menolak, ya sudah. Jangan maksa. Itu namanya nggak tahu diri."

Damar mengepalkan tangan di bawah meja. Ia muak dengan semua ini.

"Kalau begitu, kenapa senior saya bisa maksa saya mencari tanda tangan? Bukankah itu juga nggak tahu diri?"

Ruangan mendadak sunyi. Ketua BEM menatapnya tajam, tetapi Damar tidak gentar.

"Apa kita sebagai mahasiswa baru cuma boleh menerima perintah tanpa boleh membantah? Apa ini kampus atau barak tentara?"

Ketua BEM mendengus. "Sudah cukup. Aku nggak mau lihat kamu ganggu Rania lagi. Kalau kamu tetap maksa, aku pastikan kamu susah di kampus ini."

Damar berdiri. Ia sudah cukup.

Tanpa menunggu izin, ia keluar dari ruangan itu dengan kepala mendidih. Ospek ini, kampus ini, dan segala peraturannya sudah membuatnya muak.

Hari pertama berakhir dengan kemarahan yang ia pendam dalam hati.

Dan ia bersumpah, ini tidak akan berakhir di sini.


(Bersambung.....)

Monday, March 3, 2025

Kematian Idealisme di Meja Perundingan


Ilustrasi Gambar


Damar menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin. Di hadapannya, di sebuah rumah makan sederhana, duduk beberapa teman lamanya—para aktivis yang dulu ia kagumi. Mereka bukan mahasiswa, bukan pemuda labil yang baru belajar berteriak di jalan. Mereka adalah orang-orang yang dulu bersumpah akan menjadi garda terakhir bagi rakyat, yang pernah melawan kebijakan zalim tanpa gentar. Namun kini, Damar melihat sesuatu yang berbeda di mata mereka.

“Kau terlalu keras, Mar,” ujar Arif, seorang mantan aktivis yang kini bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) terbesar di kota ini. “Zaman berubah. Kalau kita mau tetap relevan, kita harus tahu cara bermain.”

“Bermain?” Damar mengangkat alis. “Maksudmu tunduk pada sistem yang dulu kita lawan?”

“Bukan tunduk. Beradaptasi.” Arif tersenyum tipis. “LSM butuh dana. Kalau kita terus bertindak seperti dulu, siapa yang akan membiayai perjuangan kita? Pemerintah? Jangan mimpi. Donatur dari luar negeri? Mereka punya kepentingan sendiri. Kalau perusahaan menawarkan dana untuk proyek sosial, kenapa harus kita tolak?”

Damar menggelengkan kepala. Ia sudah mendengar argumen ini berkali-kali. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi suara kritis kini berubah menjadi perpanjangan tangan korporasi dan pemerintah. Dulu, LSM berjuang melawan perampasan tanah oleh investor besar. Sekarang, mereka justru duduk di meja perundingan, menandatangani MoU yang secara halus melegitimasi proyek-proyek yang merugikan rakyat.

“Jadi, kau ingin mengatakan bahwa menerima dana dari perusahaan tambang yang merusak hutan itu sah-sah saja?” Damar bertanya, nadanya tajam.

Arif tidak langsung menjawab. Seorang rekannya, Rudi, yang juga mantan aktivis, justru tertawa kecil.

“Damar, kau masih berpikir hitam putih. Lihatlah kenyataan. Perusahaan itu punya uang, mereka bisa mengontrol segalanya. Jika kita tidak bekerja sama, kita akan ditinggalkan. LSM kita tidak akan punya daya.”

Damar merasakan amarah mendidih di dadanya. Daya? Apa yang mereka maksud dengan daya? Kekuasaan untuk bernegosiasi? Untuk membuat proyek yang hanya menjadi simbol kepedulian tanpa benar-benar mengubah keadaan?

Ia teringat seorang petani tua yang pernah ditemuinya di desa beberapa bulan lalu. Petani itu kehilangan lahannya karena proyek “pembangunan hijau” yang katanya untuk keberlanjutan lingkungan. Ironisnya, proyek itu didanai oleh perusahaan yang sama yang telah merusak ekosistem selama puluhan tahun. Dan lebih ironis lagi, LSM yang ikut mendukung proyek itu adalah LSM tempat Arif bekerja sekarang.

Damar mengepalkan tangannya di atas meja. “Kalian tidak lagi berjuang untuk rakyat. Kalian berjuang untuk bertahan di sistem ini, dan itu jauh lebih buruk.”

Arif menghela napas, tatapannya penuh belas kasihan. “Dan kau akan ke mana, Mar? Berteriak sendirian di jalanan? Dunia ini tidak akan berubah hanya karena satu orang masih percaya pada idealisme.”

Damar berdiri, mengambil jaketnya. Ia tidak butuh belas kasihan dari mereka yang telah menyerah.

Sebelum melangkah pergi, ia menatap mereka satu per satu. “Jika semua orang berpikir seperti kalian, maka memang benar dunia ini tak akan berubah.”

Malam itu, ia berjalan pulang dengan pikiran berkecamuk. Ia sadar bahwa materialisme telah menjalar ke hampir semua sendi kehidupan. Lembaga yang dulu ia percaya sebagai benteng idealisme kini hanya sibuk menjaga kepentingan sejengkal perut.

Tapi meskipun semua orang telah menyerah, ia tidak akan berhenti. Ia tidak tahu bagaimana, tapi satu hal yang pasti: ia harus melawan.


Novel Fiksi: Penulis Misterius

Pergeseran Kutub Kebenaran dari Kebijaksanaan ke Materialistis

Malam itu, di sebuah kamar kos sederhana yang penuh dengan buku-buku filsafat dan politik, Damar menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Di hadapannya, sebuah artikel berita online terpampang, berisi laporan investigasi tentang dugaan korupsi di sebuah yayasan sosial yang seharusnya membantu anak-anak miskin. Alih-alih menjadi lembaga yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, yayasan itu hanya menjadi alat pencucian uang bagi segelintir orang yang mengatasnamakan kepedulian.

Damar menghela napas berat. Seakan semua yang ia lihat di sekelilingnya menunjukkan pola yang sama—lembaga pemerintah yang lebih sibuk memperkaya pejabatnya, perusahaan yang hanya peduli pada keuntungan tanpa peduli lingkungan, hingga kampus tempatnya belajar yang lebih tertarik membangun citra daripada benar-benar mencerdaskan mahasiswa.

"Apa semua ini hanya tentang uang?" gumamnya sendiri.

Di bangku kuliah, ia sering membaca pemikiran para filsuf besar—Plato, Aristoteles, hingga Tan Malaka dengan gagasan-gagasannya tentang materialisme dialektika. Mereka semua berbicara tentang kebijaksanaan, tentang bagaimana manusia harus mencari kebenaran dan bukan hanya keuntungan. Namun di dunia nyata, yang ia lihat justru sebaliknya: uang adalah hukum tertinggi, dan kebijaksanaan dianggap sebagai utopia yang tidak relevan.

Keresahannya semakin memuncak setelah diskusi siang tadi di kantin kampus bersama teman-temannya.

"Lu terlalu idealis, Mar," kata Andi, temannya yang sedang mengambil magang di salah satu perusahaan besar. "Realitanya, kalau mau sukses, lu harus pinter cari uang. Kalo lu cuma mikirin kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur, lu bakal dilindas sama orang-orang yang lebih pragmatis."

Damar hanya diam saat itu, tetapi hatinya bergejolak. Apakah memang tak ada lagi tempat bagi kebijaksanaan dalam dunia ini? Jika setiap orang hanya memikirkan uang dan kepentingan pribadi, bagaimana nasib bangsa ini ke depan?

Ia teringat percakapannya dengan seorang dosen senior beberapa minggu lalu, seorang akademisi tua yang masih teguh memegang idealismenya.

"Kita sedang bergerak ke arah yang berbahaya, Nak," kata dosennya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ketika segala sesuatu diukur dari keuntungan materi, kita kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: nilai kemanusiaan. Negara ini tidak akan runtuh karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya kebijaksanaan dalam mengelolanya."

Damar mengusap wajahnya, merasa muak dengan kenyataan yang ada. Namun, di balik kemarahannya, ada tekad yang mulai tumbuh. Ia tidak ingin hanya menjadi saksi dari kehancuran nilai-nilai itu—ia ingin berbuat sesuatu.

Tapi pertanyaannya, di zaman seperti ini, apakah masih ada ruang bagi seseorang yang memperjuangkan kebijaksanaan? Ataukah ia akan dihancurkan oleh arus pragmatisme yang semakin menggila?

Damar tahu satu hal: ia harus mencari jawabannya sendiri.


Novel Fiksi: Penulis Misterius